REPUBLIKA.CO.ID, PAYAKUMBUH -- Mentari sedang berada tepat di atas ubun-ubun ketika saya dan istri mengendarai sepeda motor menuju Nagari Sungai Beringin di Kecamatan Payakumbuh, Kabupaten Limopuluah Koto, Sumbar, awal Agustus. Di sepanjang sisi kiri dan kanan jalan yang kami lalui, tampak pemandangan hijau perbukitan dan sawah-sawah penduduk yang menghampar luas. Cuaca cerah menemani perjalanan kami ketika itu.
Setelah berkendara selama kurang lebih 20 menit dari Kecamatan Guguak, kampung halaman saya, sampailah kami di Nagari Sungai Beringin. Sepeda motor lalu saya arahkan ke kompleks bangunan megah yang terdapat di salah satu sudut desa itu. Kami tidak menjumpai seorang penjaga pun di loket, kecuali sehelai papan bertuliskan harga karcis bagi pengunjung yang hendak masuk ke tempat itu.
Seorang perempuan muda berpakaian agak lusuh tiba-tiba datang menghampiri kami. "Maaf, Uda (panggilan umum untuk laki-laki di Minangkabau—Red). Mohon bayar karcis masuknya dulu. Per orangnya Rp 5.000," ujarnya kepada kami.
Karena kami datang berdua, istri saya pun menyerahkan selembar pecahan Rp 10 ribu kepadanya. Namun, ketika saya meminta karcis yang dimaksud, perempuan tadi mengatakan tiketnya sedang habis sehingga tak ada tanda pembayaran yang kami terima.
Kami lalu menyusuri jalan menuju sebuah lapangan terbuka berbentuk lingkaran. Di tengah-tengah lapangan itu, terpasang sejumlah ubin berwarna cokelat muda yang membentuk pola segi delapan sama sisi. Oleh penduduk setempat, area itu disebut medan nan bapaneh (dalam bahasa Indonesia berarti 'medan yang terpapar oleh terik sinar matahari).
Menurut tradisi Minangkabau yang berkembang saat ini, medan nan bapaneh memiliki beragam fungsi, antara lain digunakan untuk menampilkan pementasan berbagai karya seni, seperti tarian, drama, musik, dan sejenisnya.
Selanjutnya, perhatian kami tertuju pada sebuah rumah gadang beratap tujuh gonjong nan menawan laksana istana raja. Dinding-dindingnya terbuat dari kayu jati yang dihiasi dengan berbagai motif unik khas Minangkabau seperti kaluak paku, itiak pulang patang, dan saik galamai.
Di tengah-tengah bagian depan bangunan megah itu terdapat dua tangga menuju sebuah serambi yang menjorok keluar. Sementara, di halaman rumah gadang itu terdapat dua lumbung padi yang oleh masyarakat Minang biasa disebut rangkiang.
Itulah sedikit gambaran tentang Rumah Gadang Sembilan Ruang Sungai Beringin. Bangunan bergaya arsitektur Minangkabau itu memang terkenal akan keindahannya di kalangan masyarakat Sumbar, khususnya di Kabupaten Limopuluah Koto dan Payakumbuh.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika rumah gadang tersebut menjadi salah satu objek wisata budaya yang cukup menarik untuk dikunjungi para pelancong dari luar.
Kompleks Rumah Gadang Sungai Beringin dibangun di atas lahan seluas lebih dari tiga hektare oleh mendiang Nasrul Chas, seorang pengusaha kaya yang juga pendiri Hotel Pusako Bukittinggi. Rumah gadang itu diresmikan keberadaannya pada 9 Januari 1994 oleh menteri pariwisata pos dan telekomunikasi yang ketika itu dijabat oleh Joop Ave.
Bangunan tersebut kemudian dipersembahkan untuk anak cucu Minangkabau dan hingga kini digunakan untuk melestarikan dan memperkenalkan budaya adat Minang kepada dunia luar.