REPUBLIKA.CO.ID, BANGLI -- Menjaga napas bukan perkara mudah. Manusia perlu mengharmoniskan hubungan dengan Tuhan dan alam-Nya sebagai sumber napas kehidupan.
Manusia juga perlu berhubungan baik dengan sesama untuk mensyukuri dan menjaga alam tetap lestari. Inilah falsafah Tri Hita Karana yang mendarah daging di tengah masyarakat Desa Adat Penglipuran di Kabupaten Bangli, Provinsi Bali.
Ingar bingar kehidupan modern khas perkotaan membuat keberadaan desa-desa wisata di berbagai daerah kian berkembang. Orang-orang mulai menyasar tempat-tempat wisata bernuansa alam (back to nature) nan asri.
Desa Adat Penglipuran sudah ada sejak abad ke-13. Penglipuran berasal dari kata Pengeling Pura yang berarti berarti tempat suci untuk mengenang para leluhur. Penghuni pertama desa ini adalah warga dari Desa Adat Bayung Gede yang hijrah ke Bangli bagian tengah.
Luas Desa Penglipuran mencapai 112 hektare (ha), terdiri dari 12 ha areal perumahan penduduk, 49 ha ladang, dan 37 ha hutan bambu. Letaknya di ketinggian 600-700 meter di atas permukaan laut (m dpl) menjadikan iklim mikro di desa ini sejuk, meski musim kemarau sekalipun.
Seorang warga sepuh, Wayan Mangku Winten (65 tahun) mengatakan rumah-rumah masyarakat di Penglipuran mempertahankan gaya tradisional Bali, antara lain keberadaan gerbang masuk rumah yang disebut angkul-angkul, atap bambu, dan tembok penyengker.
Seluruh bagian rumah memiliki makna yang lebih dari sekadar fungsinya. Satu kavling hunian terdiri dari beberapa rumah. Hanya anak laki-laki pertama dari sebuah keluarga besar yang bisa mewarisi rumah utama dalam satu kavling hunian.
"Rumah tradisional Penglipuran terdiri dari beberapa anjungan. Jika anak laki-laki pertama membentuk keluarga baru, sementara orang tuanya masih hidup, maka orang tua akan memberikan anjungan utama kepada sang anak," kata Mangku Winten kepada Republika.co.id.
Pekarangan rumah biasanya memiliki Bale Sakenam. Desainnya berbentuk segi empat memanjang. Konstruksi bangunannya terdiri dari enam tiang kayu berjajar tiga tiga pada kedua sisi panjangnya. Kuil keluarga diletakkan di sudut timur dari pekarangan rumah.
Bagian utama dari desa adat ini berada di puncak paling tinggi. Areal ini juga menjadi lokasi pura leluhur masyarakat. Pengunjung tak menemukan sampah apapun di sini karena warga sangat menjaga kebersihan, salah satunya menyediakan bak sampah di setiap sudut desa.
Penglipuran kerap menjadi bahan pembicaraan setelah dinobatkan sebagai salah satu desa terbersih di dunia bersama dengan Desa Giethoorn di Belanda dan Desa Mawlynnong di India. Masyarakatnya sebagian besar berprofesi sebagai petani, peternak, dan pengrajin bambu.
Sekitar 40 persen dari luasan Desa Penglipuran berupa hutan bambu. Buluh-buluh bambu
menghijau memayungi sisi kanan dan kiri jalan, menjaga kualitas udara, dan menyimpan cadangan air bagi masyarakat sekitar. Masyarakat tidak sembarangan menebang bambu, kecuali mendapat izin dari tokoh masyarakat setempat. Hutan bambu di sini sering menjadi lokasi pengambilan foto prewedding, juga lokasi syuting film.
Keberadaan hutan bambu sangat diminati wisatawan mancanegara yang berkunjung ke sini. Salah satunya adalah Kyoko (28), turis asal Jepang yang menyempatkan diri menghirup udara segar di hutan bambu.
"Ya, kami punya yang seperti ini di Jepang, sangat segar," katanya. Jepang juga memiliki ikon wisata hutan bambu bernama Chikurin no Michi alias Path of Bamboo. Letaknya di sepanjang rute menuju Kuil Nonomiya-jingu ke Okochi-sanso, Arashiyama, Kyoto.
Waktu terbaik berkunjung ke Desa Penglipuran adalah menjelang Hari Raya Galungan, sekitar April. Pengunjung akan menyaksikan jejeran penjor yang terbuat dari bambu kuning menghiasi sepanjang rumah penduduk. Seluruh warga Penglipuran, pria, wanita, anak-anak akan mengenakan pakaian adat Bali sembari membawa sesajian ke pura.