REPUBLIKA.CO.ID, SEMBALUN -- Warga Desa Sembalun Lawang, Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat kerap memainkan gasing. Rizal bercerita permainan itu sudah dilakukannya sejak kecil. Mulanya ia sempat kesulitan kala mencoba pada usia sekitar sepuluh tahun. Namun lama kelamaan, ia pun mahir.
Ia menyebut gasing menjadi bagian dari budaya desanya. Kala musim tanam tiba, gasing dianggap mampu menyuburkan sawah. Sebab, bentuk gasing yang tebal diharapkan membuat padi lebih terisi. Sebelumnya, masyarakat setempat menggunakan layangan untuk dimainkan saat musim tanam tiba. Namun bentuk layangan yang tipis dianggap hanya membuat padi tak berisi.
"Gasing sebagai budaya Lombok supaya padi di sawah bagus, biasa tiap tahun saat musim hujan ada lombanya," katanya.
Permainan gasing yang dilakukan di areal lapang di desa tak hanya mengundang kalangan muda untuk bermain. Bahkan pria-pria dewasa turut campur saling adu ketangkasan melempar gasing. Kata Rizal, budaya gasing ikut mempersatukan warga dari berbagai kelompok usia.
Gasing di Sembalun Lawang biasa dibuat dari kayu pohon mangga. Jika ingin membeli, harganya pun bervariasi mulai dari 100 ribu hingga satu juta rupiah. "Harga gasing tergantung ukuran, bahan atau motifnya kalau mau sekalian dibuatkan," ujarnya.
Gasing biasanya dimainkan oleh sepuluh orang yang terbagi dua kelompok. Masing-masing kelompok bergantian melempar gasing. Kelompok pertama perannya sebagai pihak bertahan. Sedangkan kelompok kedua sebagai penyerang menghantam gasing dari kelompok pertama.
Ada kalanya gasing dari kelompok bertahan terpental oleh gasing kelompok penyerang. Namun ada pula gasing kelompok bertahan yang mampu terus berputar meski dihantam gasing kelompok penyerang. "Pemenang ditentukan dari gasing dari kelompok siapa yang berputar paling terakhir," jelas Rizal.