REPUBLIKA.CO.ID, LAMPUNG -- Menyusuri Jalan Raden Imba Kesuma, Sukadanaham, Bandar Lampung, sepasang mata dimanjakan dengan pemandangan alam hutan durian di perbukitan dalam kota. Di kanan-kiri jalan tersebut, buah durian bergelantungan dan berserakan di pondok-pondok kecil. Penjual durian selalu hadir menemani pengunjung tatkala melepas lelah pada siang dan petang hari.
Penjual durian kerap tampak di Sukadanaham. Kawasan bukit di Kecamatan Sukadanaham memang masih terdapat sejumlah pohon durian.
Tempat tersebut menjadi kawasan bersejarah karena sejak zaman kolonial dikenal sebagai lumbung durian. Memang, sisa-sisa pohon durian zaman dulu sudah mulai sirna. Namun, pohon- pohon durian generasi baru masih bisa kita saksikan di perbukitan tersebut sampai sekarang.
Tak hanya musim durian. Para penjual durian di tempat itu, terus memasok durian dari luar Kota Bandar Lampung saat durian Sukadanaham tidak musim.
Mereka mendatangkan buah durian dari Kota Agung, Kabupaten Tanggamus, Lampung, atau juga dari daerah di Sumatra Selatan, Bengkulu dan bahkan dari Medan, Sumatra Utara sekalipun.
Matahari sudah tenggelam. Kami masih menyusuri ruas jalan di pinggiran bukit Tahura Wan Abdul Rahman (WAR) yang bersebelahan dengan pantai-pantai indah di pesisir Teluk Lampung. Selepas waktu Maghrib, keinginan untuk mencicipi buah durian di Jalan Sukadanaham mulai memuncak.
Tak lengkap kalau sudah ke Bandar Lampung tidak mencicipi duriannya, kata Eko, salah seorang wartawan media nasional dari Jakarta. Ia dan rekan seprofesinya berulang kali singgah di Sukadanaham sekadar ingin menikmati durian di pondok pinggir jalan.
Perlu kesepakatan. Dari kawasan Teluk Lampung kami menyusuri perbukitan Jalan Sukadanaham. Ruas jalan yang gelap dan masih menyisakan lubang-lubang kecil, tak menyurutkan keinginan untuk mencicipi durian pada malam itu. Sorot lampu mobil kami menyinari buah durian yang digantung di pinggir jalan. Kami pun mampir.
Buah durian yang dipajang tinggal sedikit. Satu per satu, kami mulai mencium durian itu.
Namun, tak satu pun yang menyebarkan aroma khasnya. Biasanya,kalau duriannya bagus matang, baunya dari jauh saja sudah harum. Tapi ini sudah dicium dari dekat saja tidak ada baunya, kata saya kepada rekan lainnya.
Tak lama penjaja lainnya menyatakan bahwa durian tersebut sisa dari penjualan siang hari. Selain muda, buah durian tersebut dari kulitnya ma sih tampak muda dan belum matang. Ia menyarankan untuk menghampiri pondok lainnya. "Maju lagi Pak, di sana banyak duriannya masih punya saudara saya," kata penjual durian tadi.
Setelah bergerak maju sekitar 500 meter lebih, kami melihat memang banyak buah durian di pondokan berikutnya. Tempat tersebut persis berada di perempatan Tugu Durian yang dibangun sebagai simbol keberadaan durian di Sukadanaham. Tugu durian tersebut menjadi persimpangan yang dituju bila pengunjung ingin membeli durian.
Kembali kami mencium satu per satu durian yang sudah digantung pakai tali. Aroma khas durian mulai menyengat hidung pertanda sudah matang dan enak. Tapi, berbelanja di pondokan pinggir Jalan Sukadanaham harus pin tar-pintar, karena penjual selalu menawarkan harga tinggi, apa lagi yang membeli turun dari mobil.
"Yang ini Rp 90 ribu, sedangkan yang ini Rp 50 ribu," kata Surachman, penjual durian di perempatan itu sembari menun jukdurian ukuran besar dan sedang. Kami kaget dengan tawaran harga yang tinggi itu. Tak hilang akal, kami menawar buah durian ukuran sedang dari Rp 50 ribu menjadi 30 ribu per buah. Lumayan, kalau makan di tempat masih terjangkau kantong saku.
Setelah disepakati harga buah durian segar itu Rp 35 ribu per buah. Kami memberi syarat kepada penjual makan untuk di tempat. Namun, bila buah durian mentah tidak dihitung atau tidak jadi dibeli. Si penjual setuju. Dengan kesepakatan itu, penjual terpaksa kerja ekstra keras mencari buah durian yang matang agar tidak rugi karena buahnya harus dibuka dan dimakan di tempat.
Sebanyak 20 buah durian kami santap di tempat secara bergantian. Meski ada dua buah durian yang mentah atau tidak enak, terpaksa diganti. Eko, rekan kami mengaku sudah tidak terhitung berapa biji durian masuk mulutnya. "Mantap ini!," ujarnya malam itu.
Mencari dan membeli durian di tempat itu memang harus pintar-pintar. Apalagi bila mencari pada malam hari. Sebab, hanya satu pondok yang masih buka hingga 24 jam.
Coba kalau kita beli langsung duriannya dan dibawa pulang makan di rumah, pasti kita yang rugi, tutur Pipit rekan dari media lainnya. Sebab, selain harga mahal juga belum bisa dipastikan isinya bagus.