REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pernikahan anak masih marak terjadi di Indonesia, lebih lagi dengan Undang-Undang Pernikahan yang membolehkan menikah di bawah usia 16 tahun dengan persetujuan orang tua. Padahal pernikahan anak di bawah usia 18 tahun saja banyak risiko yang perlu di hadapi.
Asisten Deputi Pemenuh Hak Anak Atas Pengasuhan, Keluarga, Lingkungan Kementerian Pemberdayaan Peremuan dan Perlindungan Anak Rohika Kurniadi menjelaskan dampak menikahkan anak sangat berbahaya. Risiko yang dihadapi tidak hanya masalah kesehatan, namun juga psikologis.
"Paling pertama itu pendidikan menjadi sulit" kata Rohika.
Ketika anak menikah di bawah usia 18, berarti anak itu belum selesai menamatkan sekolah menengah atas. Terlebih lagi jika menikah di bawah usia 16 tahun, putus sekolah dan kesempatan mendapatkan pendidikan yang laik terhenti.
Ketika jauh dari pendidikan, maka berimbas pada pemahaman akan pola asuh anak. Anak sudah memiliki anak akan sangat sulit untuk memberikan hasil yang maksimal, termasuk pememenuh untuk gizi bayi yang dilahirkan.
Selain pada pendidikan dan pola asuh, dampak pun bisa merambat pada ekonomi keluarga. Banyak anak yang menikah maka secara ekonomi mereka belum terjamin, biasanya itu menjadi lingkaran setan dan membuat akan terjadi pernikahan anak berikutnya.
Rohika mengakui jika perlu ada intervensi yang masif agar pemahaman tentang dampak pernikahan anak yang tidak baik. Tindakan pun tidak hanya dilakukan dari pemerintah saja, perlu ada kerja sama dari semua pihak agar pernikahan anak dapat diputus dan angkanya bisa menurun dari tahun ke tahun.