Kamis 28 Sep 2017 16:45 WIB

Urgensi Sertifikasi Pemandu Wisata

Rep: Eric Iskandarsjah Z/ Red: Yudha Manggala P Putra
 Wisatawan asing mendengarkan penjelasan pemandu wisata di kawasan Kota Tua, Jakarta, Ahad (10/1). (Republika/Tahta Aidilla)
Wisatawan asing mendengarkan penjelasan pemandu wisata di kawasan Kota Tua, Jakarta, Ahad (10/1). (Republika/Tahta Aidilla)

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Di mata wisatawan mancanegara, pemadu wisata adalah sosok yang menjadi representasi atas suatu negara. Hal tupun disadari oleh pemandu wisata di Yogyakarta, yang merupakan ujung tombak dalam merepresentasikan keramah tamahan Yogyakarta dan Indonesia.

Oleh karenanya, pemandu pun dinilai tak hanya sekedar mamandu, namun juga harus tersertifikasi dan mengantongi lisensi. Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) DIY, Imam Widodo mengatatakan, sertifikasi dan lisensi itu sesuai dengan amanat dari pemerintah bahwa pramuwisata atau guide harus melakukan sertifikasi dan mengantongi lisensi.

Menurut dia, hal itu tertuang dalam UU ketenagakerjaan no 13 tahun 2013, PP no 52 th 2012, Pasal 55 UU no 10 th 2009, Permen Pariwisata no 19 tahun 2016. "Oleh karena itu, seluruh anggota HPI kini telah memiliki lisensi," ujar Imam kepada Republika.co.id, Kamis (28/9).

Saat ini, anggota HPI DIY sendiri adalah sebanyak 517 pramuwisata yang terbagi dalam 12 divisi bahasa. Untuk terus menambah jumlah guide berlisensi, saat ini HPI DIY juga tengah melakukan proses sertifikasi dengan total jumlah peserta sekitar 150 orang. "Bulan depan kami juga akan kembali mengadakan proses sertifikasi," ucapnya. Hingga saat ini, peserta yang telah melakukan pendaftaran untuk proses sertifikasi yang akan digelar pada Oktober itu telah mencapai 200 peserta.

Ia menyadari, sertifikasi dan lisensi adalah bekal yang mutlak dibutuhkan oleh guide. Sehingga, pramuwisata dapat melakukan tugasnya dengan baik dan benar. Pasalanya, lanjut dia, pramuwisata juga memiliki kode etik yang harus dilakukan saat melayani wisatawan.

Salah satu hal yang disoroti terkait pelayanan pramuwisata adalah terkait etika. Imam pun mengaku kerap mendengar keluhan dari wisatawan yang tidak puas dengan etika atau kesopanan dari guide. "Namun oknum yang dikeluhkan bukan anggota dari HPI. Wisatawan mengira seluruh guide adalah anggota dari HPI makanya melapornya kepada kami," kata dia.

Imam pun mengakui bahwa di DIY sendiri masih sangat banyak guide yang belum mengantongi lisensi sehingga belum terjamin kualitas pelayananya. Pasalnya, lanjut dia, dalam meraih lisensi, diperlukan proses mulai dari seleksi awal, pelatihan dan sertifikasi demi memastikan bahwa seorang pramuwisata tersebut terbukti mampu memberikan pelayanan terbaik bagi wisatawan.

Menurutnya, beberapa hal yang paling utama yang harus diperhatikan dalam memberi lisensi adalah terkait informasi tentang seluk beluk objek wisata. "Hal ini harus dipastikan agar guide dapat memberikan informasi yang akurat," ujarnya.

Hal lain yang juga diperhatikan dalam pemberian lisensi adalah terkait penguasaan bahasa dan etika. Untuk penguasaan bahasa, HPI DIY pun menjalin kerja sama dengan beberapa universitas agar dapat memberikan pelatihan bahasa yang memadai. "Untuk proses perolehan lisensi ini ada yang dilakukan atas bantuan dari pemerintah dan ada pula yang dilakukan secara mandiri," ucap Imam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement