REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kisah ditolaknya gugatan Gloria Natapradja yang menuntut UU Kewarganegaraan di Mahkamah Konstitusi membuka mata publik akan rumitnya mengurus kewarganegaraan bagi anak yang lahir dari pernikahan orang tua WNI dan WNA. Di Indonesia, pernikahan campuran antara warga Indonesia dengan warga negara asing sejatinya sudah lumrah terjadi.
Terlepas dari banyaknya prosedur yang harus ditempuh sang anak untuk mendapatkan status kewarganegaraan, sosiolog menilai ada keuntungan yang diperoleh dengan menikahi warga negara asing. Sosiolog Universitas Negeri Sebelas Maret Rahesli Humsona berpendapat pernikahan dua warga negara berbeda bisa menaikkan status sosial keluarga yang bersangkutan.
"Apalagi jika pasangan berasal dari negara yang lebih maju. Ada kebanggaan, misalnya orang Indonesia menikah dengan orang barat. Anaknya pun secara fisik mungkin lebih cantik," katanya saat dihubungi Republika.
Akan tetapi secara budaya pernikahan beda negara bisa menyebabkan terjadinya persaingan budaya. Bahkan bisa menjalar hingga konflik budaya jika keduanya kurang bertoleransi. Budaya ini termasuk agama di dalamnya. Apabila kedua pihak tidak bisa mengatasi, maka bisa terjadi perpisahan.
"Tapi sebaliknya, kalau saling memahami bisa terjadi perkawinan budaya melalui akulturasi atau asimilasi," terang Rahesli. Bagi anak-anak, tergantung bagaimana bentuk interaksi yang terjadi di antara keduanya. Jika orang tua tidak ada masalah, maka anak bisa tumbuh normal.