Jumat 25 Aug 2017 06:21 WIB

Menjaga Mangrove di Kawasan Pesisir Gorontalo

Seorang pengunjung berjalan di atas tracking mangrove di Desa Langge, Kabupaten Gorontalo Utara, Kamis (25/8).
Foto: Muhammad Hafil/Republika
Seorang pengunjung berjalan di atas tracking mangrove di Desa Langge, Kabupaten Gorontalo Utara, Kamis (25/8).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhammad Hafil/Wartawan Republika.co.id

 

Sepuluh tahun lalu, tiga dari 40 hektare hutan mangrove di pesisir Desa Langge, Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, rusak. Masyarakat sekitar menebang dan mengambil batang tanaman itu sebagai bahan kayu bakar dan pagar rumah. Bahkan, juga dimanfaatkan sebagai bahan pembuat kapal bagan oleh nelayan untuk menangkap ikan di laut.

Belum ada kesadaran masyarakat dan produk hukum lokal yang mencegah pemanfaatan tanaman mangrove. Padahal, mangrove memiliki fungsi penting dalam banyak hal. Di antaranya, mencegah intrusi air laut (perembesan air laut ke tanah daratan), mencegah erosi dan abrasi pantai, penyaring limbah laut agar tidak masuk ke pantai, hinga sebagai tempat hidup dan sumber makanan bagi beberapa jenis satwa.

Pemerintah daerah setempat sebenarnya sudah mengingatkan masyarakat untuk tidak menebang tanaman mangrove. Namun, masyarakat menyatakan pemanfaatan mangrove yang tidak sesuai aturan itu memberikan keuntungan bagi mereka. “Masyarakat bertanya kepada kami, kami dapat apa (kalau tidak mengambil tanaman mangrove)?” kata Kabid  Kelautan dan Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Gorontalo Utara, Amanda Sange, Kamis (24/8).

Pertanyaan masyarakat itu dijawab dengan munculnya ide pemanfaatan hutan mangrove tanpa harus menebang tanamannya.  Kebetulan, pada 2013, Kabupaten Gorontalo Utara menjadi salah satu daerah yang mendapatkan bantuan proyek  pemberdayaan masyarakat pesisir atau Coastal Community Development Project (CCDP). Bantuan ini merupakan kerjasama strategis dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan International Fund Agricultural Development (IFAD).

“Salah satu yang menjadi fokus pemberdayaan ini adalah soal pemanfaatan hutan mangrove tanpa harus merusaknya yakni dengan membangun jogging track atau tracking mangrove di kawasan hutan mangrove,” kata Amanda.

Program ini pun mendapat sambutan dari masyarakat dan pemerintah desa setempat. Karena, masyarakat bisa mendapatkan banyak keuntungan dari pembuatan tracking mangrove sepanjang 300 meter ini. Di antaranya, mendapatkan retribusi dari wisatawan yang mengunjungi tempat ini. Hal tersebut berdasarkan Peraturan Desa No 1 tahun 2017 tentang tracking mangrove ini untuk  memungut retribusi sebesar Rp 2000 bagi wisatawan yang mengunjungi tempat ini.  Hasil retribusi ini digunakan untuk kepentingan masyarakat pesisir sepenuhnya.

Sejak tracking mangrove yang berbentuk hati ini dioperasikan pada Januari 2017 lalu, tercatat sudah ada ribuan wisatawan yang mengunjunginya. Wisatawan datang dari Kabupaten Gorontalo Utara dari luar Gorontalo Utara. Masyarakat juga mendapatkan keuntungan dengan penjualan merchandise seperti kaos dan souvenir yang bertemakan tentang tracking mangrove.

Keuntungan lainnya adalah, tiga hektare lahan yang dulu rusak sekarang sudah kembali normal. Karena, masyaraka kembali menanam tanaman mangrove dan tidak menebangnya lagi. “Alhamdulillah, sekarang mangrove tumbuh lagi,” kata Eris Bahruddin, salah seorang warga.

Selain itu, di bawah tracking mangrove itu juga dibangun tempat penangkaran budidaya kepiting bakau. Tercatat, ada delapan kotak penangkaran yang masing-masingnya berukuran 4x4 meter.  Ini menjadi pemandangan tersendiri bagi wisatawan.

Konsep ekowisata ini mengubah pola pikir masyarakat terhadap hutan mangrove. Karena, masyarakat sekarang berpikir bagaimana caranya agar mempertahankan kelestarian mangrove untuk dilestarikan ke anak cucu. “Ini jadi pemicu bagi kami untuk terus merawat mangrove yang ada di pesisir desa kami,” kata Eris. Menurut Eris, ini semua tidak lepas dari pembinaan yang diberikan aparatur KKP dan Pemerintah Kabupaten Gorontalo melalui program CCDP IFAD ini. 

Deputi Pengelola Proyek Daerah CCDP-IFAD Adi Priana Pasaribu mengatakan, pembinaan terhadap masyarakat di kawasan pesisir terhadap hutan mangrove harus terus dilakukan. Terutama, yang berkaitan dengan inovasi terkait ekowisatanya. Hal ini merupakan kesepakatan antara masyarakat dengan pihak terkait untuk pengelolaan jangka panjang wilayah pesisir.

Salah satunya,  dia menyarankan agar di kawasan tempat yang sekarang dinamakan Mangrove In Love ini, dibangun tempat penangkaran lebah. Ini bisa menjadi budidaya madu sehingga bisa mendatangkan keuntungan ekonomi bagi masyarakat. “Karena itu, kawasan mangrove yang sudah kita bangun bersama-sama dengan masyarakat ini harus terus dijaga,” katanya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement