REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Ahli Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Gadjah Mada (UGM), Carla Raymindalexas Marchira, mengatakan berbagai kasus bunuh diri telah mewarnai pemberitaan media massa akhir-akhir ini. Di tingkat global, lebih dari 800 ribu orang meninggal setiap tahun akibat bunuh diri.
Bunuh diri, kata dia, juga menjadi penyebab utama kedua kematian pada usia 15 hingga 29 tahun. Kasus terbanyak bunuh diri pada laki-laki, sedangkan percobaan bunuh diri pada perempuan. Bahkan sekitar 75 persen kasus bunuh diri terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Cara umum yang digunakan untuk bunuh diri diantaranya menelan pestisida, gantung diri, dan menggunakan senjata api.
Praktik bunuh diri, kata dia, terkadang juga berkembang menjadi 'budaya'. Sekian banyak wujud repitisinya yang seragam seperti minum racun pestisida, gantung diri, melompat dari jembatan maupun apartemen sering mewarnai pemberitaan. Jadi bentuknya juga sangat dipengaruhi oleh budaya bentuk dan jenis bunuh diri yang sebelumnya telah muncul.
Seperti halnya kasus bunuh diri di Kabupaten Gunung Kidul yang dikenal dengan istilah kepercayaan pulung gantung. ''Kalau seseorang mengaku sudah kena pulung (melihat bintang jatuh) dia bunuh diri. Hal seperti ini harus dikikis dan generasi muda sudah diberitahu bahwa hal itu tidak benar. Untuk memberikan pemahaman ini harus dilakukan kerja sama dengan dinas pendidikan," ujarnya pada acara talkshow bertema Fenomena Bunuh Diri: Aspek Psikiatri dan Psikologi di Ruang Teater Gedung Perpustakaan Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta, Selasa (22/8).