Senin 07 Aug 2017 14:18 WIB

Wisata Halal Sebaiknya tak Dizonasi

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Esthi Maharani
Ilustrasi Wisata Halal. (Republika/Mardiah)
Foto: Republika/Mardiah
Ilustrasi Wisata Halal. (Republika/Mardiah)

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Sejumlah daerah di Indonesia berencana menetapkan sistem zonasi atau lokasi khusus pengembangan wisata halal (halal tourism), seperti Jakarta, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Sumatra Utara. Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo dan Ketua Indonesia Halal Center Sapta Nirwandar mengusulkan jika pengembangan wisata halal sebaiknya tidak berdasarkan zonasi, melainkan pelayanan atau servis.

Hal tersebut diamini oleh pelaku usaha. Pemilik Rhadana Group, Rainier H Daulay memandang zonasi tak perlu dilakukan mengingat ada tiga gelombang besar perubahan tren di dunia yang tak bisa dihindari, yaitu wisata digital (digital tourism), arus wisatawan Cina (China tourist), dan wisata halal.

"Halal itu pilihan, halal itu kesempatan (opportunity), dan halal itu sehat, sehingga tak perlu dizonasi atau dikotak-kotakkan," kata Rainier kepada Republika, Senin (7/8).

Brand halal tourism pun, kata Rainier selama ini kebanyakan fokus pada halal hotel dan halal food. Brand wisata syariah juga berbeda sebab konotasi syariah kurang tepat dipakai untuk bisnis, selain bank syariah. Rhadana Hotel Kuta misalnya mengusung konsep Modern Muslim Friendly untuk mempopulerkan wisata halal di Pulau Dewata.

"Jika dizonasi, mau seperti apa? Sertifikasi halal hotel saja saya sampai sekarang tak pernah tahu seperti apa, sebab baru halal food saja yang bisa disertifikasi. Oleh sebab itu zonasi di sini menurut saya kurang tepat," katanya.

Rainier mencontohkan Sumatra Barat mendapat prediket Worlds Best Halal Culinary Destination atau destinasi wisata halal terbaik untuk berbulan madu. Sumatra Barat pada dasarnya tak perlu menerapkan zonas mengingat praktik-praktik syariah di provinsi tersebut sudah diimplementasikan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement