REPUBLIKA.CO.ID, PHNOM PENH - Siapa sangka, buah salak dari Indonesia kini menjadi salah satu buah kegemaran warga Kamboja. Menurut Som Arun Punloeu, pemilik perusahaan Salak A.K.A Trading Co.Ltd, salak Indonesia bisa ditemui di sejumlah toko-toko buah hampir di seluruh Kamboja.
Salak A.K.A Trading sendiri telah memiliki lebih dari 10 grosiran toko buah salak dari Indonesia. Salak-salak itu didistribusikan ke toko-toko kecil untuk kemudian dijual ke konsumen.
"Kami baru mengimpor salak dari Indonesia ke Kamboja dalam dua tahun terakhir," ujar Punloeu, saat ditemui di acara Indonesian Trade and Tourism Promotion (ITTP) 2017 di Koh Pich Exhibition Center, Phnom Penh, Kamboja, Ahad (9/7).
Punloeu menuturkan, pada awalnya perusahaannya hanya mengimpor 1.000 kilo salak per minggu dari Indonesia. Namun, setelah semakin berkembang, kini ia telah mengimpor sebanyak 3.000 kilo salak. Ia bisa mengimpor dua kali dalam sepekan.
"Tempat kami mengimpor adalah Yogyakarta. Hanya Yogyakarta," jelas dia.
Di Kamboja, rata-rata penjual buah menawarkan satu kilo salak dengan harga 5,5 dolar AS. Menurut Punloeu, supermarket besar bisa menjual salak dengan harga lebih mahal, yaitu di atas 6 dolar AS per kilo. Punloeu memilih buah salak karena, tidak seperti buah-buah tropis lainnya dan salak tidak dapat ditemui di Kamboja. Kalaupun ada buah yang sejenis salak, tetapi rasanya berbeda.
"Tidak ada salak di Kamboja. Kami punya buah lakam, 80 persen seperti salak, hampir sama, tapi rasanya berbeda. Lakam sangat masam, sedangkan salak manis," ungkap Punloeu.
Buah lakam banyak dianggap sebagai buah jenis salak atau snakefruit. Namun, lakam memiliki daging buah yang berwarna lebih kuning dan kulit buah yang agak sedikit kemerahan. Punloeu juga mengaku pernah mencoba mengimpor manggis dari Indonesia. Hanya saja, impor manggis tidak berlanjut karena harganya yang lebih mahal dari salak. Sehingga ia juga harus menaikkan harga jual di Kamboja.