Ahad 11 Jun 2017 20:03 WIB

Sensasi Turun Tebing di Tasikmalaya

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Esthi Maharani
Tebing / Ilustrasi
Foto: IST
Tebing / Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Belasan orang dari usia remaja hingga dewasa melompat dari jembatan Cirahong, Kecamatan Manonjaya, Tasikmalaya secara bergantian. Mereka bukan hendak bunuh diri. Mereka tengah berolahraga rappeling atau turun tebing. Kegiatan ini sekaligus mengisi waktu luang jelang berbuka alias ngabuburit.

Salah satu perintis olahraga tersebut, Andrew mengatakan pada mulanya ia mencari tantangan baru setelah bosan menggeluti olahraga naik gunung. Ia menilai kegiatan naik gunung menyita waktu terlalu banyak. Padahal bagi pelajar SMA seperti dirinya kala itu, waktu libur yang dimiliki hanya dua hari yaitu Sabtu-Ahad.

Berbekal kenekatan dan keinginan kuat, ia mendalami rappeling lewat dunia maya tanpa pelatih sejak SMA. Setelah merasa punya bekal ilmu yang cukup, ia memberanikan diri melakukan rappeling. Beberapa tahun kemudian, rekan-rekannya mulai melirik rappeling. Alhasil, jumlah penggiat rappeling terus bertambah.

"Belajar otodidak dari internet sekarang tinggal turunin ilmunya ke teman-teman. Tadinya naik gunung, lalu cari kegiatan lain karena naik gunung lama dari mulai naiknya sampai turun," katanya pada Republika di sela-sela ber-rappeling di jembatan Cirahong, beberapa waktu lalu.

Ia pun membentuk komunitas bernama touring camp bagi siapa saja yang menyukai kegiatan outdoor termasuk rappeling. Komunitas ini kerap ber-rappeling ria pada akhir pekan tak terkecuali di bulan Ramadhan. Berbagai jembatan di Tasikmalaya dan sekitarnya telah dijajal oleh komunitasnya.

"Paling bagusnya jembatan di Tasik bagian selatan seperti di Salopa atau Cikalong karena mendekati pantai jadi bagus airnya. Kalau di Tasik utara seperti Cirahong ini kurang bagus dan terlalu ramai," ujar pria berusia 33 tahun itu.

Meski tergolong olahraga ekstrem, ia mengaku tak pernah mengalami insiden selama ber-rappeling. Tantangan terbesarnya adalah mahalnya peralatan yang diperlukan. Untuk peralatan lengkap dengan tingkat keamanan standar, harganya bisa mencapai Rp 20 juta. Alhasil, ia mesti menabung lebih dulu agar bisa membeli peralatannya.

"Karena mahal, kami mesti gantian pakai peralatannya karena tak semua bisa beli, paling bisa juga nyicil satu-satu belinya sampai lengkap," ucapnya.

Kenikmatan rappeling ikut pula dirasakan oleh Ella Hildan. Perempuan yang baru berusia 17 tahun itu merasa tertantang menggeluti rappeling. Mulanya, ia hanya menyukai naik gunung bersama komunitas yang Andrew dirikan. Tetapi seiring ajakan dari rekan-rekan lain, ia ikut ber-rappeling. Tapi tak mudah, bagi dara yang kini bersekolah di SMAN Manonjaya itu untuk mengumpulkan keberanian. Perlu beberapa kali percobaan sebelum berani mencoba rappeling.

"Awalnya takut enggak berani turun, tapi sekarang mah sikat aja langsung turun," katanya santai.

sumber : Center
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement