Senin 22 May 2017 16:26 WIB

Dampak Ekonomi dari Fremantle-Bali Yacht Race 2017

Kapal layar atau yacht (ilustrasi)
Foto: Reuters/Joaquin Sarmiento
Kapal layar atau yacht (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BADUNG -- Ajang Fremantle-Bali Yacht Race 2017 membawa dampak kejut ekonomi yang luar biasa bagi Bali. Ada 70 peserta race yang banyak membelanjakan uangnya di Bali, itu belum termasuk 52 anggota keluarga mereka yang ikut diboyong ke Pulau Dewata itu.

Tim Percepatan Pengembangan Wisata Layar dan Cruise Kementerian Pariwisata (Kemenpar) Raymond T Lesmana mengatakan, total kru dan nahkoda yang ikut dalam acara ini berjumlah 70 orang. Mereka membawa total 52 orang anggota keluarga juga untuk berlibur ke Bali.

Berbicara di Prama Sanur Beach Hotel, Sabtu (20/5) malam, pria yang sudah puluhan tahun mengurus organizer yacht rally internasional itu sangat yakin hal ini memberi dampak ekonomi yang tidak sedikit bagi Bali. Marina, hotel, rental mobil, restoran, bar dan pub, semua ikut "terkena imbas" positif dari Fremantle-Bali Yacht Race 2017. 

“Tipikal yacht racer adalah spending uang yang lebih besar dari rally yachter. Mereka maunya menginap di hotel berbintang. Makannya di restoran berbintang. Satu kapal yang terdiri dari satu awak dan dua skipper biasanya mengeluarkan uang 123 dolar Amerika Serikat per hari. Keluarga yang ikut terbang dari Australia ke Bali rata-rata juga segitu. Silakan estimasi sendiri, berapa perputaran uang dari race ini,” ujarnya seperti tertuang dalam siaran pers Kemenpar, Senin (22/5).

Biaya pengeluaran tersebut, menurut Raymond, masih bisa bertambah lagi karena belum termasuk membeli bahan bakar, air bersih, perbaikan kapal, kebersihan dan kebutuhan dasar lainnya. Beberapa yachter, menurut Raymond, juga ada yang ingin menetap tiga hingga enam bulan di Bali. Ada yang ingin ke Labuan Bajo, Tual, hingga Anambas. 

Hal itu ikut diamini Ketua Tim Percepatan Wisata Bahari Kemenpar Indroyono Soesilo. Melihat besarmya dampak ekonomi dari wisata yacht, mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman itu berjanji untuk mengintensifkan perbaikan layanan bagi yacht internasional yang mengunjungi nusantara.

“Dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 105/2015 tentang pengelolaan kunjungan kapal pesiar asing adalah tonggak penting dalam upaya pemerintah untuk merampingkan sektor ini. Berdasarkan peraturan tersebut, kapal pesiar asing dan penumpang serta awak kapal dapat mengakses dukungan administratif dan imigrasi saat memasuki salah satu dari 18 pelabuhan yang dipilih, seperti Pelabuhan Benoa di Bali, Pelabuhan Sabang di Aceh dan Pelabuhan Belawan di Medan,” ujarnya.

Dan bagi yang ingin memperpanjang masa liburannya, sekarang sudah ada sosio culture visa yang bisa diperpanjang selama enam bulan. Setelah yacht, Indroyono menerangkan, ke depannya mereka akan merayu super yacht yang berukuran lebih dari 24 meter untuk berwisata ke Indonesia.

Peningkatan pelayanan memang menjadi nyawa dari wisata yacht. Clearance in and out, custom, immigation stamp passport, karantina dan syahbandar harus mendukung ini. Principal Race Officer Bernie Kaaks, menyatakan hal senada. Menurutnya saat ini pelayanan sudah jauh lebih bagus.

Tinggal klik http://yachters-indonesia.id dan mengisi formulir yang tersedia, yachter sudah bisa masuk ke Indonesia. "Sudah jauh lebih simpel,” katanya.

Tapi, itu saja rupanya belum cukup. Sebab setelah sandar, yachter butuh layanan satu atap. Custom, imigrasi, karantina dan syahbandar tadi harus ada di satu marina untuk mempermudah mobilisasi yachter saat ingin berwisata di darat. Saat ini kantor pelayanan masih terpisah-pisah tidak dalam satu lokasi. Sehingga yachter masih harus mengeluarkan dana tambahan untuk mengurus perizinan setelah sandar di marina.

Pemilik kapal layar Kondili, Robbie Hearse, juga mengatakan hal serupa. Layanan untuk yachter menurutnya harus ada 7 x 24 jam lantaran dalam race, tiap peserta tidak finish dalam rentang periode waktu yang sama. “Ada yang finish pagi, siang, sore, malam, malah ada yang beda hari. Jadi harus full 7 x 24 jam. Hari ini, Minggu 21 Mei 2017, saya tidak bisa keluar Indonesia karena tidak ada layanan karantina,” katanya.

Sementara pemilik Walk on The Wildside, Garth Curran, berharap ada revisi zona exit point. Terutama bagi kapal layar yang datang dari Bali Marina. Ia mengisahkan pengalamannya bersama teman-teman yang awalnya ingin ke Labuan Bajo melihat Komodo.

Tapi tidak ada exit point di sana, pintu keluar berada di Kupang. Bagi perahu layar yang tidak mengandalkan mesin, menurut Garth, ini jadi persoalan besar karena untuk menuju Kupang, mereka dipaksa harus melawan angin. 

"Satu lagi, Indonesia perlu jalur wisata kapal layar nasional. Kalau ini ada, yachter dunia jadi punya panduan berlayar di jalur yang sangat aman,” kata Garth.

Mendengar ini, Menteri Pariwisata Arief Yahya langsung memerintahkan seluruh jajarannya untuk segera berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait. Misinya, memperbaiki semua pelayanan yang terkait dengan wisata yacht. 

“Ini masukan bagus. Akan segera saya tindaklanjuti dengan kementerian dan lembaga terkait. Semua marina di Indonesia haus bisa menaikkan level service of excellentnya. Marina itu membangun kesan pertama. Semua orang tahu, kesan pertama itu harus menggoda! Selanjutnya, harus sangat hebat dengan menggunakan standar global,” ujar dia. 

sumber : Kemenpar
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement