REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG---Lima sampai sepuluh tahun terakhir industri penerbitan buku di Indonesia hanya tumbuh sekitar 5 persen per tahun. Di sisi lain, pertumbuhan pasar e-book atau buku digital juga tergolong rendah, tidak jauh berbeda dari buku fisik.
Menurut Owner PT Sarana Panca Karya Nusa (SPKN), Wimpy S Ibrahim, keberadaan e-book tidak menggerus pasar buku fisik. Karena, keduanya memiliki pasar yang berbeda.
"Lagipula, untuk membaca sebetulnya masyarakat masih memilih buku secada fisik karena alasan kenyamanan," ujar Wimpy kepada wartawan Peresmian Waroeng Buku Pendidikan, belum lama ini.
Namun, Wimpy tidak menampik jika keberadaan internet berperan dalam menurunkan minat baca buku. Khususnya, di kalangan generasi muda. Saat ini minat baca mereka lebih besar terhadap bentuk multimedia.
"Sebenarnya dari dulu juga minat baca masyarakat kita memang sudah rendah," katanya.
Wimpy mengatakan, dampak terbesar dirasakan oleh buku-buki komersial non pendidikan. Sementara buku pendidikan pertumbuhannya relatif masih bagus karena memang sudah menjadi kebutuhan primer anak sekolah.
"Masa keemasan penerbitan buku sudah berlalu. Bukan hanya karena pertumbuhannya yang relatif lambat, tapi juga pemainnya yang semakin banyak, memperebutkan kue yang sama," kata Wimpy.
Oleh karena itu, menurut dia, untuk bisa bertahan, industri penerbitan buku harus beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Penerbit buku juga harus menyediakan versi e-book, baik yang berbayar maupun gratis. Selain itu, sebaiknya merambah sektor hilir juga, dengan membuka toko buku, untuk memperkuat pemasaran.
"Hal itu pulalah yang melatarbelakangi kami membuka Waroeng Buku Pendidikan ini," katanya.
Bukan hanya toko buku fisik, kata dia, sebaiknya mereka merambah pada toko buku online. Sarana pembayaran pun harus dilengkapi dengan metode cashless untuk memenuhi kebutuhan semua segmen pasar.