Rabu 15 Mar 2017 09:23 WIB

Belajar Merawat Hutan dari Kampung Adat Sembagik

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Indira Rezkisari
Warga melintas dengan jerigen air di Kampung Adat Sembagik.
Foto: Republika/M Nursyamsyi
Warga melintas dengan jerigen air di Kampung Adat Sembagik.

REPUBLIKA.CO.ID, LOMBOK UTARA -- Tidak tampak aktivitas berarti saat Republika.co.id berkunjung ke kampung ini. Terlihat hanya beberapa anak-anak dan papuq nine atau nenek-nenek dalam bahasa Sasak yang duduk di rumah panggung.

"Kalau siang gini memang sepi, karena pada ke ladang," ujar Tokoh Pemuda Kampung Adat Sembagik, Sukati.

Pria berusia 37 tahun itu pun menceritakan banyak hal tentang sejumlah keunikan yang ada di Kampung Adat Sembagik, satu dari sekian banyak kampung adat yang masih bertahan di tengah gempuran modernisasi.

Terletak sekitar 85 kilometer (km) dari Kota Mataram, atau menempuh perjalanan sekitar 2,5 jam, kampung adat yang berada di Dusun Sembagik, Desa Sukadana, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, NTB, ini masih menjaga tradisi nenek moyang dan hidup berdampingan dengan Hutan Adat Sembagik.

Kampung Adat Sembagik seakan  tersembunyi karena lokasinya yang berada di pedalaman Hutan Adat Sembagik. Mereka enggan menerima masuknya aliran listrik dan lebih memilih menggunakan penerangan alami dengan menggunakan lampu jojor atau lilitan kapas pada bambu yang dicampur dengan minyak jarak.

Sukati menerangkan cara membuat lampu jojor/M Nursyamsyi

Mengingat lokasi kampung yang berada di pedalaman hutan adat, tak heran jika akses jalannya masih sangat terbatas dan penuh gelombang bahkan hingga sepanjang 1 km.

Saat hendak masuk ke dalam kawasan kampung adat, terdapat sebuah kayu yang melintang tepat di pintu masuk kampung. Kayu tersebut merupakan penanda bagi setiap kendaraan agar tidak masuk ke dalam kampung, baik itu kendaraan roda dua, roda empat, maupun sepeda.

"Di sini memang tidak diperbolehkan kendaraan masuk, termasuk sepeda juga," Sukati melanjutkan.

Terjalnya medan perjalanan akan terbayar seketika saat memasuki kawasan kampung adat ini. Nuansa asri dan teduh begitu terasa kala menjejakkan kaki di kampung ini.

Dia mengatakan kampungnya memang masih sangat kental mempertahankan nilai-nilai tradisi Suku Sasak. Kampung adat seluas 2 hektare ini didiami sekitar 97 kepala keluarga dengan 99 bangunan, mulai dari rumah panggung penduduk, masjid kuno, lumbung penyimpan padi, dan Berugak (Gazebo). Tak ada satu pun bangunan permanen di sini. Seluruh bangunan yang ada merupakan buah karya warga lokal dengan memanfaatkan sejumlah sumber daya yang ada di sekitar kampung seperti kayu ilalang dan bambu.

Sukati menceritakan sejumlah keunikan yang ada di kampungnya seperti cara memasak yang masih menggunakan kayu tanpa minyak tanah atau pun minyak goreng dalam proses menggoreng.

Ia menuturkan, awik-awik atau aturan hukum adat juga masih terjaga di kampung ini antara lain, mengatur sumber mata air yang hanya boleh digunakan untuk mandi dan minum, sedangkan untuk mandi dilarang menggunakan sabun. Aturan lain ialah tidak diperkenankan menggunakan alas kaki saat menuju ke sumber mata air dan dilarang merusak pepohonan, bahkan sekadar memetik daun dari sejumlah pohon atau tanaman.

Untuk mengatur proses awit-awit tetap terjaga, terdapat seorang pemangku adat yang bertugas menetapkan sanksi bagi setiap pelanggar. Dendanya pun bervariasi, mulai dari seekor kambing hingga uang kepeng bolong, yang didahului upacara adat. Hukuman ini tidak pandang bulu. Setiap pelanggar, baik warga kampung adat maupun dari luar kampung adat diperlakukan sama. Menurutnya, tradisi ini merupakan salah satu upaya dalam menjaga kelestarian hutan.

Masjid kuno/M Nursyamsyi

Di kampung adat ini juga ada sebuah masjid kuno. Namun, tidak sembarang orang bisa masuk dan beribadah di dalamnya. Masjid tersebut hanya dipergunakan pada waktu tertentu semisal Idul Fitri, Bulan Ramadhan, dan Maulid Nabi.

Selain bertani, para perempuan di kampung ini dulunya melestarikan kerajinan tenun. Namun, dalam beberapa tahun terakhir proses menenun yang memang menjadi tradisi warga Sasak terhenti lantaran kesulitan modal. "Kalau sekarang banyak juga alat-alat tenunnya yang sudah hilang," ucap dia.

Meski berada di pedalaman, para orang tua di Kampung Adat Sembagik masih menaruh perhatian pada sektor pendidikan bagi anak-anaknya. Sukati menyampaikan, kebanyakan anak-anak di Kampung Adat Sembagik tetap menjalankan aktivitas kegiatan mengajar, meski lokasi sekolah berada cukup jauh yakni di luar kawasan hutan adat.

"Kalau yang punya motor diantar pakai motor, kalau tidak ya anak-anak jalan kaki," dia menambahkan.

Sukati yang juga ditunjuk sebagai Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Sembagik sedang berupaya untuk mengembangkan kampungnya agar semakin banyak dikunjungi wisatawan. Selama ini, hanya kawasan tiga gili yakni Gili Air, Gili Memo, dan Gili Trawangan, destinasi di Kabupaten Lombok Utara yang ramai dikunjungi wisatawan.

Ia berharap ada bantuan dari pemerintah, terutama perihal kondisi jalan menuju Kampung Adat Sembagik yang masih jauh dari harapan dan juga fasilitas pendukung wisata lainnya.

Ketua Perhimpunan Usaha Taman Rekreasi (Putri) NTB, Thahrir, menilai Kampung Adat Sembagik memiliki potensi besar dalam menarik minat wisatawan, terutama wisatawan mancanegara yang ingin melihat secara langsung kehidupan warga Lombok yang masih mempertahankan nilai budayanya.

"Harus ada menajemen yang baik  karena akan lebih memudahkan, apalagi ini lokasinya juga strategis," ujar Thahrir.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement