Rabu 22 Feb 2017 17:30 WIB

Daerah Didorong Buat Film Sejarah dan Budaya

Anggota LSF, Mukhli Paeni dan Kepala Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata Kota Balikpapan Oemy Facessly dalam acara sosialisasi Oemy Facessly
Foto: Dok LSF
Anggota LSF, Mukhli Paeni dan Kepala Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata Kota Balikpapan Oemy Facessly dalam acara sosialisasi Oemy Facessly

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA – Lembaga Sensor Film (LSF) mendorong sineas di daerah membuat film-film berbasis lokal yang mengandung nilai sejarah dan budaya. Kemendikbud akan membantu pembuatan film-film tersebut bagi yang memenuhi kriteria.

Menurut Ketua Komisi III LSF, Mukhlis Paeni, film adalah media transformasi yang sangat cepat. Karenanya, harus dimanfaatkan untuk membuat suatu film dokumenter yang mengangkat tentang sejarah, budaya, dan kearifan lokal daerah.

“Ini dibiayai oleh Kemendikbud. Dan, sekarang ada 25 judul film yang disiapkan,” kata Mukhlis saat menjadi pembicara dalam acara Sosialisasi Penyerapan Kearifan Budaya Lokal yang digelar oleh LSF di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, Selasa (21/2). 

Seperti di Kalimantan Timur misalnya, Mukhlis percaya di daerah ini memiliki banyak sejarah yang bisa diangkat menjadi film. Ada sejarah kerajaan Hindu tertua dari abad 5 yakni Kutai. Atau, kisah kepahlawanan Sultan Muhammad Idris, seorang pejuang dari Kalimantan Timur yang gugur di Sulawesi Selatan.

“Kalau digali pasti ada kisah-kisah bernilai sejarah yang menarik,”kata Mukhlis.  

Menurut Mukhlis, daerah yang sudah mengangkat banyak film bertema sejarah, budaya, dan kearifan lokal adalah Sulawesi Selatan. Di mana, dalam satu tahun, sineas di daerah ini bisa memproduksi sebanyak 12 film. Atau, di Jawa Timur yang bisa memproduksi sebanyak 80 film dalam setahun.  

Menurut Mukhlis, film-film yang memenuhi kriteria itu akan dibeli oleh Kemendikbud. Kemudian, bisa menjadi bahan ajar untuk konten lokal di daerah.

Anggota anggota Komisi I LSF, Sudama Dipawikarta, mengatakan, saat ini Pusat Pengembangan (Pusbang) Perfilman Kemendikbud sedang gencar-gencarnya membantu komunitas dalam memproduksi film. “Segera saja jika sudah memiliki bahan untuk diajukan ke Kemendikbud,” katanya.

Di tempat yang sama, Ketua DPD Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) Samarinda, Henri Hermawan mengatakan, dia bersama dengan rumah produksinya sudah membuat 80 judul film dokumenter yang mengangkat kearifan lokal sejak 2010. Namun, yang menjadi kendala adalah, film-filmnya itu tidak bisa ditayangkan ke siaran publik seperti TVRI daerah ataupun televisi swasta daerah. Ini karena belum mendapatkan tanda lulus sensor dari LSF. Di mana, sebuah tayangan publik harus mendatkan tanda lulus sensor dari LSF.

“Nah, saya patuh pada peraturan untuk ditayangkan ke publik harus ada lulus sensornya. Tapi apakah ini berarti saya harus ke Jakarta,” kata Henri.

Menanggapi hal itu,  Mukhlis Paeni menjelaskan pihaknya memang sejak 2014 lalu tengah memproses pembentukan perwakilan LSF di daerah. Pada awalnya, ada 10 daerah yang akan dibentuk, termasuk Kalimantan Timur.

Namun, karena pada 2016 lalu ada pemotongan anggaran dari pemerintah pusat, Kalimantan Timur ditunda. “Tapi saya yakin nanti pasti terbentuk perwakilan LSF Kalimantan Timur,”kata Mukhlis.

Dengan adanya perwakilan LSF daerah ini, lanjut Mukhlis, maka ada beberapa kemudahan yang didapat. Selain tidak perlu mengurus ke Jakarta, juga LSF setempat bisa lebih mengetahui karakter budaya setempat.

Sedangkan Sekretaris  Komisi III LSF, Wahyu Tri Hartati, menyarankan, jika LSF daerah belum ada, sineas di daerah  diminta untuk mencari mitra sebanyak-sebanyaknya agar bisa membantu pengurusan sensor LSF di Jakarta. 

“Pemerintah daerah juga harus turun tangan membantu karya anak-anak daerah ini ke Jakarta ke tingkat nasional. Saya kira kita bisa bersinergi dengan baik. Dan kepada para pembuat film jangan pernah putus asa,” kata Wahyu.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement