REPUBLIKA.CO.ID, BALIKPAPAN -- Penulis sinetron Indonesia sekarang dinilai tidak memiliki idealisme. Ini karena mereka harus membuat sinetron dengan sistem kejar tayang.
Menurut anggota Komisi I Lembaga Sensor Film (LSF), Sudama Dipawikarta, sinetron sekarang dibuat tidak sampai selesai. Artinya, baru tiga episode tapi sudah diberikan ke televisi lalu ditayangkan.
“Ini semacam promo, kalau tiga episode itu hasil rating-nya bagus, maka pembuatan sinetron dilanjutkan ke episode berikutnya. Tapi kalau hasil rating-nya buruk, ya selesai tidak selesai tidak dilanjutkan. Jadi tidak ada idealism yang dibangun oleh pembuatnya,” kata pria yang akrab disapa Dipa ini saat menjadi pembicara dalam acara Sosialisasi Penyerapan Kearifan Budaya Lokal yang digelar oleh LSF di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, Selasa (21/2).
Dipa mengatakan, berbeda dengan sinetron zaman dahulu. Di mana, cerita sinetron telah dirampungkan, lalu ditayangkan oleh televisi. Dengan cara seperti ini, maka pembuat sinetron zaman dahulu bisa memasukan idealismenya dalam berkarya. Misalnya, memasukkan nilai-nilai moral atau kearifan lokal.
“Jadi tidak sekadar menghibur saja,” kata Dipa.
Dipa juga mengatakan, bagaimana proses pembuatan sinetron sekarang yang dilakukan dengan sistem kejar tayang. Jika saat shooting, satu orang pemain tidak bisa datang maka sutradara atau pembuat sinetron bisa mengubah cerita seenaknya.
“Kita bisa membayangkan bagaimana sisi kualitas dan idealisme yang ada di sinetron itu,” kata Dipa. Padahal, lanjut Dipa, televisi adalah sahabat terdekat sebuah keluarga. Jika kualitas tayangan sinetronnya seperti itu maka hal ini sangat mengkhawatirkan.