REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia dikategorikan sebagai negara yang memiliki komitmen besar bagi perlindungan anak dalam pendidikan. Komitmen tersebut bukan hanya termaktub dalam undang-undang semata, namun secara eksplisit tercantum dalam UUD 1945. Pasal 31 ayat (1) menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
Namun, kata Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto, di sisi lain, konstitusi juga memberikan atensi besar terhadap perlindungan anak dari kekerasan. Pasal 28 B ayat 2 berbunyi, setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
"Menurut konstitusi tersebut, negara memastikan tak boleh ada anak dimanapun berada tidak mendapat pendidikan. Negara juga tak mengizinkan anak Indonesia mendapat tindakan kekerasan dalam bentuk apapapun, kapanpun dan di manapun, termasuk di satuan pendidikan," katanya, Selasa, (20/12).
Begitu tingginya komitmen perlindungan anak dalam pendidikan, UU No. 35 Tahun 2014 atas perubahan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, secara eksplisit banyak mengurai perlindungan anak dalam pendidikan. Dalam UU tersebut, menyebut kata 'pendidikan' 19 kali, menyebut kata 'pendidik' 6 kali, kata 'kependidikan' 6 kali, menyebut 2 kali kata 'satuan pendidikan', menyebut 14 kali kata 'kekerasan' dan 2 kata 'kekerasan di satuan pendidikan'.
Faktanya, kata Susanto, Indonesia merupakan negara yang menghadapi kekerasan terhadap anak cukup kompleks. Kekerasan di sekolah terjadi dengan berbagai macam bentuk mulai fisik, psikis, hingga seksual.
Dalam berbagai bentuk kekerasan itu, anak menjadi korban atau pelaku, atau korban dan sekaligus pelaku. Tawuran, kekerasan saat MOS, dan bullying bahkan menjadi tradisi di sebagian sekolah yang seringkali melibatkan anak secara masif.
"Kekerasan terhadap anak di sekolah merupakan persoalan bangsa yang perlu segera dihentikan dan diputus mata rantainya. Sebab ini terkait langsung dengan pemenuhan hak anak untuk dilindungi oleh negara serta menentukan nasib bangsa di masa mendatang," katanya.
Bahkan, ujar Susanto, pada saat yang sama kekerasan di sekolah menjadi masalah yang membutuhkan peran negara untuk menyikapinya secara serius dan sistemik. Apalagi bentuk kekerasan di sekolah cukup beragam.
Trend kasus kekerasan di sekolah yang ditangani KPAI selama ini meliputi kekerasan fisik, seksual, psikis dan cyber bullying. Bentuk kekerasan fisik meliputi tawuran, dipukul, ditempeleng, ditendang, dijewer, dicubit, dilempar dengan benda-benda keras, dijemur dibawah terik sinar matahari serta diminta lari mengelilingi lapangan