REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keberadaan kue tradisional kini semakin tergerus zaman. Lihat saja ke dalam etalase toko kue di pusat perbelanjaan atau mal. Hampir tidak ditemukan lagi ragam warna kue mangkok, atau aneka warna kue lapis. Kini, hampir seluruh toko kue mengubah produknya menjadi kue kering atau cookies, hingga aneka roti.
"Menghilangnya kue tradisional memang tak bisa dihindari akibat peradaban modern," ujar Founder Natural Cooking Club (NCC) Fatmah Bahalwan kepada ROL dalam acara Bogasari Expo 2016 'Warisan Boga Nusantara' di Balai Kartini, Jakarta, Ahad (18/12).
Fatmah mengatakan, meski keberadaannya tertelan kue modern, bisnis kue tradisional tetap berpotensi dalam bisnis kuliner. Sebab, kue tradisional tergolong cukup murah. Kue-kue basah tradisional tergolong dalam jenis penganan yang memiliki tingkat kesulitan proses pembuatannya cukup rendah. Berbeda dengan proses pembuatan sejenis cake atau kue lapis khas Surabaya. Itu sebabnya bisnis kue tradisional masih banyak diminati industri rumah tangga.
Kelemahannya, Fatmah mengatakn, kue tradisional tergolong makanan yang tidak bisa bertahan lama. Biasanya hanya tahan setengah hingga satu hari penuh. Kue tradisional juga tidak bagus disimpan dalam lemari es. Selain mengubah rasa, tekstur kue turut berubah. Terkadang bahkan mengeluarkan bau tak sedap.
Itu sebabnya bisnis kuliner kue tradisional termasuk dalam jenis produk 'satu hari habis'. Fatmah menagatakan, karena itu penjual harus membuat jumlah kue dengan perkiraan habis terjual dalam satu hari. Bila tidak, kue terpaksa dibuang karena tak bisa diawetkan. Kue tradisional juga tidak disarankan menggunakan pengawet.
Untuk menghindari terbuangnya kue yang tak habis terjual, Fatmah menyarankan membuat produk secukupnya. Atau cara lebih aman bisa menerima penjualan kue tradisional dalam bentuk pesanan. Dengan cara tersebut semua kue pasti habis terjual karena sesuai dengan pesanan.