Di Tanjung Jabung Barat masih ada 2.710 hektare kebun kopi. Sebanyak 1.020 hektare di antaranya ada di Kecamatan Betara, sisanya tersebar di lima kecamatan lainnya. ‘’Per hektare bisa menghasilkan 700-750 kilogram setiap tahunnya,’’ ungkap Murdiyanto, ketua II Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Tanjung Jabung Barat.
Kemenkumham telah memberikan pengesahan indikasi geografis untuk kopi liberika di Tanjung Jabung Barat dengan nama Liberika Tungkal Komposit. Maka, mereka pun mulai mengolah kopi dengan mematuhi prosedur pengolahan standar. Yang dipetik untuk diolah hanyalah buah merah segar. sebelum digiling, buah kopi dirambangkan di air, hanya yang tenggelam yang diambil untuk digiling basah.
Selanjutnya, kata Murdiyanto, ada dua proses yang bisa dipilih. Diproses peram dan proses madu. Untuk proses peram, giling basah dilakukan pada sore hari. Biji kopi hasil giling kemudian diperam di karung selama 12-18 jam, setelah itu dicuci untuk menghilangkan lendir, lalu dijemur. ‘’Jika ada panas, enam hari bisa kering, jika panasnya jarang, bisa 10 hari baru kering,’’ jelas pemilik dua hektare kebun kopi di Mekarjaya itu.
Untuk proses madu, setelah kopi merah segar dipetik langsung diperam di plastik kedap udara selama lima hari. ‘’Baru kemudian dijemur selama sebulan,’’ ujar Ahmad Mapur petani dari Kelompok Tani Sidomuncul Mekarjaya.
Buah kopi itu dijemur tertutup dalam ‘ruang’ plastik. Bagian bawahnya berupa jaring berjarak 80 cm dari tanah yang disemen. Tiap hari dibolak-balik. Jika digigit pecah, pertanda sudah kering, siap digiling, untuk membuang kulitnya. Kadar airnya biji kering ini 12 persen. Jika tidak, jika digiling akan hancur bijinya. Kopi yang diproses madu, kata Ahmad, ‘’Kopinya lebih enak.’’