"Percayalah, di dalam Indonesia Merdeka nanti tidak boleh ada orang yang kelaparan; semua penduduk Indonesia mesti dan harus kenyang.''
(Sukarno, pidato di Hari Pembebasan Jawa, 9 Maret 1945, yang dihadiri barisan rakyat yang menunggu acara dengan perut kosong)REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tiga puluh delapan orang mengungsi ke Australia ketika Kepala Pemerintahan Merauke H van der Wal mengurangi jatah beras mereka. "Berjuta-juta dan lagi berjuta-juta orang sekarang harus ditolong, mau secara makanan, pun juga secara pakaian. Hampir segenap barang-barang yang sekarang ada pada kita, itu harus dikirim semuanya dengan segera. Juga segala tempat yang lebih dulu terbebas akan dikurangkan segala sesuat yang biasa didapat. Pun Merauke harus dikurangkan lagi pembahagiannya."
Maka, dipimpin Suparman, anggota Komite Indonesia Merdeka Cabang Merauke, 38 orang itu mengungsi ke Australia setelah ada pemogokan pekerja kapal KPM di Brisbane pada 24 September untuk mendukung kemerdekaan Indonesia. Central Komite Indonesia Merdeka didirikan para pejuang Indonesia di Australia, pada 20 September 1945.
Kepergian mereka ke Australia adalah puncak kemarahan mereka karena sudah tiga kali diberi janji dipulangkan ke Jawa, tak juga teralisasi. Ada sekitar 300 pejuang yang dibuang di Merauke yang belum dipulangkan ke Jawa oleh Belanda. Pada 1944, mereka masih mendapat beras 12 kg, tetapi pada 1945 dikurangi hanya menjadi delapan kg, dan pada 19 September 1945 diumumkan bakal ada pengurangan lagi.
Di Jawa, orang-orang terbiasa mengonsumsi beras. Data 1940, konsumsinya mencapai 86 kg per jiwa per tahun. Jumlah sebanyak itu hanya memberi 1.712 kalori per hari. Presiden Sukarno pada 1952 pernah meminta Sekretaris Panitia Negara Perbaikan Makanan menghitung kalori yang dibutuhkan rakyat Indonesia.
"Beliau menjawab 1.850 kalori seorang sehari sekarang, dan harus dijadikan 2.250 kalori seorang sehari di kemudian hari," ujar Sukarno dalam pidato peletakan batu pertama gedung Fakultas Pertanian Universitas Indonesia di Baranangsiang, Bogor, 27 April 1952.
Kalori orang Indonesia tergolong yang sangat rendah. India sudah tercapai 2.212 kalori per orang per hari. Birma sudah 2.348 kalori, Malaysia sudah 2.337 kalori, Srilangka sudah 2.167 kalori, Kuba 2.918 kalori, Belanda 2.958 kalori, Australia 3.128 kalori, Amerika Serikat 3.249 kalori.
Pada 1951, produksi beras hanya 5,9 juta ton, padahal kebutuhannya 6,5 juta ton. Pada 1951 impor beras dari Birma dan Siam mencapai 700 ton. Jika pada 1960 penduduk Indonesia ada 83 juta, menurut Sukarno, Indonesia membutuhkan 12,8 juta ton beras dengan asumsi kebutuhan kalori 2.250 kalori per orang per hari.
Delapan tahun kemudian sejak peletakan batu pertama di Bogor itu, produksi beras di Indonesia belum mencapai yang dicitakan Sukarno. Pada 1962, produksi beras baru mencapai 9,2 juta ton. Pada 1962 pula, produksi jagung ada 3,2 juta ton (produksi 1951 sebanyak 1,4 juta ton), dan produksi ubi kayu 12 juta ton (produksi 1951 sebanyak 7,1 ton). Karena Sukarno tak ingin bangsa Indonesia hanya makan beras, maka penanaman bahan pangan selain padi juga digalakkan.
Sukarno menyadari betapa besar pengaruh dirinya. "Pengaruhku terhadap rakyat sudah tumbuh sedemikian, sehingga kalau aku berkata ’makan batu’ mereka akan memakannya," kata Sukarno.
Tapi, tentu saja secara harfiah ia tak akan menyuruh rakyat Indonesia makan batu, betapa pun sulitnya kondisi ekonomi Indonesia. Ia lantas mengurai pemberitaan di suratkabar dan perbincangan di kampung tentang harga beras yang naik gila-gilaan, tentang ancaman bahaya kelaparan, tentang adanya orang yang sudah makan bonggol pisang, adanya orang yang bunuh diri lantaran putus asa tak bisa memberi makan anak serta istrinya, dan sebagainya.
"Buat apa kita bicara politik bebas kalau kita tidak bebas dalam hal urusan beras, yaitu selalu harus minta tolong beli beras dari bangsa-bangsa tetangga?" kata Sukarno.
"Kalau misalnya peperangan dunia ketiga meledak, entah besok entah lusa, dan perhubungan antara Indonesia dan Siam dan Birma terputus karena tiada kapal pengangkutan, dari mana kita mendapat beras?" tambahnya lagi.
Maka, dalam pidatonya itu ia melontarkan pertanyaan retoris, "Haruskah kita mati kelaparan?" Ia tak ingin anggaran berjuta-juta hanya digunakan untuk membeli beras dari luar negeri, padahal bangsa sendiri memiliki peluang meningkatkan produksi.
Kita benar-benar bodoh jika …
Lahan pertanian yang subur pada 1960 mencapai 62,6 juta hektare, tetapi yang ditanami hanya 12,7 juta hektare. Hampir 100 peresen, lahan yang ditanami itu berada di Jawa. Sukarno menyadari hal itu. Menurut Balai Penyelidikan Tanah, dari luas Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Barat, yang mencapai 158,2 juta hektare, ternyata hanya 14 persen yang cocok untuk pertanian.
Maka, bagi Sukarno, usaha yang harus dilakukan adalah meningkatkan jumlah lahan pertanian untuk meningkatkan jumlah produksi bahan makanan. "Jika kita tak sanggup menyediakan sandang pangan di negara kita yang kaya ini, ini menunjukkan kita bodoh, kita benar-benar bodoh," ujar Sukarno dalam pidato 17 Agustus 1963.
Ia menegaskan kembali sikapnya untuk tidak meminta-minta kepada asing, terlebih jika ada yang mengulurkan bantuan tapi untuk mencekik leher bangsa Indonesia. Bagi dia, lebih baik tetap makan gaplek, daripada makan enak karena bantuan asing tapi kemudian tetap diperbudak.
Mustikarasa adalah bentuk nyata kepedulian Sukarno pada masakan bergizi selain meningkatkan produksi aneka bahan pangan. Ia perintahkan Menteri Pertanian dr Aziz Saleh pada 1960 untuk mengumpulkan beragam resep dari berbagai daerah.
Butuh waktu tujuh tahun untuk menuntaskan tugas ini, termasuk uji coba resep dan festival makanan yang dilakukan oleh Hartini, ibu negara. Hartini mengambil peran lantaran Fatmawati memilih hengkang dari Istana begitu mengetahui Sukarno menikahi Hartini.
Ada 1.600 resep yang terkumpul, tapi tak melulu resep daerah, sebab ada pula resep dari Meksiko: Tortila, meski ada penjelasan ala Indonesia. Ada pula resep tortila guadalaraja, ada pula resep berbahan baku tortila. Tortila adalah roti pipih berbahan jagung tanpa menggunakan ragi. Roti jagung ini di Meksiko mendapat nama tortila dari orang-orang Spanyol karena bentuknya mirip telur dadar Spanyol.
"Empat puluh persen kalori yang dimakan orang Meksiko dalam sehari didapat dari jagung. Sebagian besar dalam bentuk tortila," ungkap Michael Pollan dalam buku Omnivore’s Dillema. Sukarno sering menyebut Meksiko sebagai contoh yang patut ditiru lantaran telah cukup lama memanfaatkan jagung sebagai sumber karbohidrat. Polan mencatat, orang Meksiko telah mengonsumsi jagung sejak 9.000 tahun lampau.
Sukarno ingin orang Indonesia tak hanya makan nasi beras. Maka, tak heran jika di buku resep Mustikarasa, ada 189 resep berbahan baku umbi-umbian. Ada enam resep berbahan baku batang pisang, 84 resep berbahanbaku jagung, 45 resep berbahan baku jagung muda, 32 resep berbahan baku tempe, 43 resep berbahan baku tahu, dan 37 resep berbahan telur.
Sukarno mendorong rakyatnya meningkatkan konsumsi zat putih telur, lantaran konsumsinya masih rendah dibandingkan bangsa lain. Hanya 4 gram per orang per hari. Malaysia saja sudah 14 gram, Filipina 25 gram. Birma 32 gram.
Ia ingin melihat rakyatnya berotot kawat bertulang besi, karena putih telur dan segala aspan gizi dapat meningkatkan stamina. Ia menginginkan menjadi bangsa kuat. Karenanya, selain mememerintahkan produksi bahan pangan terus ditingkatkan, ragam masakan bergizi pun perlu dicatat untuk bisa dipraktikkan oleh seluruh rakyat.
Adanya resep sayur daun kelor dan sayur buah kelor juga memberikan gambaran tentang keinginan mengatasi hongeroedem. Kelor mengandung banyak nutrisi.
Saya menemukan resep tinutuan di Mustikarasa, tapi resep Manado ini tak menyertakan daun gedi. Padahal, daun gedi menjadi syarat utama bagi bubur manado ini. Lendir daun gedi akan membuat bubur tidak pera. "Tanpa daun gedi, bukan bubur manado namanya," ujar Efan Muaya, istri sekdes Touure, Minahasa.
Jika sama sekali tak ada beras, beras jagung atau tepung jagung pun dibuat bubur. Namun tak ada resep nanar di Mustikarasa. Bubur dari tepung jagung itu disebut nanar, sangat disukai ibu-ibu yang baru melahirkan. Nanar artinya hangat.
Bubur ini mendapat campuran jahe dan berbagai sayuran, seperti halnya tinutuan. Jahe dan rempah lainnya memulihkan stamina ibu-ibu yang habis melahirkan. "Dimakan sewaktu masih hangat, sampai keluar keringat," ujar Jotje Wowor, sekretaris Desa Touure.
Penyusunan buku resep ini dilatari semangat kebinekaan dan semangat Pancasila. Karenanya, ada banyak resep berbahan baku babi, yang dipantang oleh Muslim. Meski begitu, daging bumbu bali di Mustikarasa, menurut Koo Siu Ling ternyata berbeda dengan yang dipraktikkan di Bali.
"Salah satu buktinya didapati dalam buku masak Mustikarasa (1967) yang memuat resep hidangan daging bumbu Bali.Daging yang dipilih dalam hidangan ini adalah sapi," tulis Ling di buku resep peninggalan ibunya --yang ia tulis bersama Paul Freedman, Culture, Cuisine, Cooking, An Asia East Java Peranakan Memoir (2015).
Ling memberi penjelasan daging bumbu babi yang pedas itu sudah popular dari generasi ke generasi. Tetapi,kadar pedasnya bisa dikurangi sesuai selera. Di Bali, daging yang dipakai, menurut Ling, tentu saja bukan daging sapi, karena orang-orang Hindu Bali tidak mengonsumsi daging sapi, melainkan daging babi. Daging bumbu bali yang dicatat ibu Ling --yang dulu tinggal di Malang-- sebagai resep keluarga juga berbahan daging sapi.
Mustikarasa sebenarnya hanya menyebut bahan baku daging --tanpa embel-embel sapi atau babi-- di resep daging bumbi bali ini. Daging babi disebut sebagai bahan baku di resep daging bumbu serapah yang ada juga di Mustiakarasa sebagai resep yang juga berasal dari Bali.
Meski ada resep berbahan katak, saya tak menemukan resep swike. Swike dari daerah saya, Purwodadi, cukup besar gaungnya. Ada banyak restoran swike Purwodadi di Jakarta.
Saya juga tak menemukan resep cipera dari Karo. Cipera berbahan baku tepung jagung sangrai. Jagung sangrai ditemukan juga sebagai resep dari Flores, jagung titi. Mustikarasa menyebut dua resep jagung titi, satu dari Flores, satu dari Timor. Jagung titi Flores, jagung disangrai kemudian dikeprek dengan batu, sedangkan jagung titi Timor, jagung dibuat beras kasar lalu disangrai.
Tetapi, Daniel Adoe, pria kelahiran Lelogama, Amfoang Timur, Pulau Timor, memberikan koreksi. "Beras jagung yang disangrai, lalu dimakan dengan air, disebutnya jagung bose," ujar Adoe kepada saya.
Di Mustikarasa, ada resep jagung bose yang berbahan baku beras jagung, prosesnya tanpa disangrai terlebih dulu. Jagung bose (sangrai) dan jagung titi sama-sama tahan lama untuk disimpan sebagai bahan makanan.
Adoe memiliki cerita ketika ayahnya sering melakukan perjalanan untuk memeriksa kesehatan sapi-sapi di wilayah Amfoang pada 1940-1950-an. Sekali pergi, ayah Adoe membutuhkan waktu tiga bulan meninggalkan rumahnya di Lelogama karena harus mengunjungi berbagai kampung yang memelihara sapi. Warga yang menerima bantuan sapi wajib menyekolahkan anaknya.
Perjalanan ditempuh menggunakan kuda, berbekal besi dan lumut kering untuk membuat api, pinang sirih, dan jagung bose. "Di perjalanan, untuk makan jagung bose, cari sungai, gali pasirnya, keluar air, air itu yang dipakai untuk makan jagung bose," jelas Adoe.
Resep papeda yang saya santap di dua kunjungan ke Papua, ditulis di Mustikarasa berasal dari Maluku. Saya menyantap papeda dengan ikan kuah yang juga ada di Mustikarasa sebagai resep dari Papua. Ketika pertama kali mencoba papeda, saya ragu hanya kenyang sementara, lantas akan kelaparan di tengah malam. Ternyata keraguan saya ini tak terbukti.
Ada beberapa resep dari Irian Barat, yang baru direbut kembali 1 Mei 1963. Ada marva au, resep berbahan baku ubi jalar, ada pula jok, resep tepung sagu dengan daging ular sawah.
Lebih baik makan gaplek, tapi …
Saya banyak berharap penjelasan seperti yang diberikan Ling ada pula di Mustikarasa, tapi saya tak menemukannya. Ada resep kue Irian dari Tegal, tapi tak ada penjelasan asal-usul nama kue berbahan baku ubi kayu dan tepung kanji itu. Ada pula sayur manipol usdek dan penganan bernama ganefo ketela, yang juga tak ada penjelasan asal-usulnya.
Di Sumatra Barat ada lapek ganefo, yang juga berbahan ubi kayu parut dan kelapa parut. Ganefo rupanya menjadi banyak nama penganan dan minuman. Nama itu adalah nama gelaran olahraga Asia-Pasifik yang dijadikan sebagai tandingan olimpiade.
Ketika penganan dari ubi kayu diberi nama ganefo ketela, ada semacam semangat perlawanan melalui makanan terhadap negara kaya, sebagaimana yang juga ditunjukkan oleh Sukarno lewat pernyataan tegasnya pada 17 Agustus 1963, "Lebih baik makan gaplek, tapi independen daripada makan beef steak, tapi diperbudak!"
Sejak muda, Sukarno sudah menegaskan jika kemerdekaan dimulai dari lidah. Maka, berkali-kalai ia menegaskan lewat lidahnya bahwa kemerdekaan pangan juga perlu diperjuangkan. Dengan lidah, Sukarno berbicara di mana dan kapan saja. Ia mengisap kata-kata berbagai negarawan besar dunia, lalu meminum ucapan para pemimpin besar Indonesia, menggodoknya dengan falsafah dasar dari rakyat Marhaen. Ia menjadi telinga besar yang siap mendengarkan rakyat Indonesia, lalu menjadi penyambung lidah rakyat Indonesia.
"Aku menjadi mulut mereka," tegas Sukarno. Karena menjadi mulut banyak orang, maka ia selalu berhati-hati dengan ucapan-ucapannya. Ia merasakan betapa yang telah ia ucapkan merupakan isi pikiran dan perasaan rakyat. Ia telah merumuskan perasaan-perasaan yang tersembunyi dari rakyat menjadi istilah-istilah politik dan sosial 'yang tentu akan mereka ucapkan sendiri kala mereka dapat'.
Di hadapan para mahasiswa Pertanian Universitas Indonesia, Sukarno memberikan tantangan. "Pemuda-pemudi Indonesia, apakah engkau perbiarkan bangsamu hidup dari lebih kurang 1.700 kalori seorang sehari? Tidak. Engkau ingin cita-cita Panitia Negara Perbaikan Makanan terlaksana, dus 2.250 kalori seorang sehari… Mengertikah engkau bahwa kita sekarang ini menghadapi satu bayangan hari kemudian yang amat ngeri? Bahkan satu todongan pistol ‘Mau hidup ataukah mau mati’?"