Selasa 20 Sep 2016 06:21 WIB

Genjot Pariwisata Tibet, Pemerintah Cina Dikritik

Rep: Ahmad Fikri Noor/ Red: Indira Rezkisari
Keindahan alam Tibet.
Foto: flickr
Keindahan alam Tibet.

REPUBLIKA.CO.ID, NYINGCHI -- Cina telah meresmikan pembukaan hotel baru di Tibet sebagai upaya menarik jutaan wisatawan ke daerah tersebut. Hal itu tetap dilakukan Pemerintah Cina meski muncul kritik tindakan tersebut akan mengikis budaya setempat.

Hotel tersebut dilengkapi dengan kamar kelas President Suite seharga 1.000 dolar AS (Rp 13,1 juta) per malam. Pengunjung yang menginap di sana bisa menikmati pegunungan salju Himalaya. Hotel mewah itu menjadi simbol rencana pemerintah pada daerah otonom itu.

Cina berharap jumlah pengunjung ke Tibet bisa naik 50 persen dalam empat tahun ke depan. "Tibet menarik 4 juta turis pada 2005. Kami berharap bisa mendapatkan 24 juta wisatawan tahun ini dan 35 juta wisatawan pada 2020," ujar Wakil Direktur Komite Pengembangan Wisata Tibet Wang Songping seperti dikutip dari Malay Mail Online.

Pembukaan Artel hotel dan upaya pemerintah Cina mendorong wisata di Tibet bisa membawa pendapatan miliaran dolar AS. Akan tetapi, beberapa pihak memiliki kekhawatiran bahwa keuntungan tersebut tidak jatuh ke semua pihak.

"Agen perjalan dan orang-orang yang bekerja di industri wisata kebanyakan orang Cina dari etnis Han. Orang Tibet adalah orang-orang terakhir yang mendapat keuntungan," ujar pakar Tibet Francoise Robin.

Kurang dari lima persen wisatawan ke Tibet adalah wisatawan mancanegara. Mereka butuh surat izin masuk dan juga visa Cina untuk berkunjung ke wilayah Tibet. Tak hanya itu, wisatawan juga harus ikut dalam tur yang sudah diorganisir.

Beredar persepsi bahwa pembatasan itu untuk mencegah dunia luar mengetahui ketegangan antara Tibet dan Han. Meski begitu, pemerintah menolak anggapan tersebut.

"Pembatasan ini karena kami belum bisa memberikan layanan kelas dunia untuk wisatawan," ujar Wakil Gubernur Tibet Bianba Zhaxi.

Akan tetapi, Wakil Ketua Parlemen Tibet Acharya Yeshi Phuntsok mengakui pembatasan adalah upaya menyembunyikan kebenaran. "Kalau turis asing dan media bisa berkunjung bebas di Tibet, tanpa tur yang terorganisir dan bisa mendapatkan pandangan orang-orang, maka saya pikir wisata bisa berdampak baik. Tanpa itu, tak ada orang yang akan berbicara dan berbagi masalah orang-orang Tibet," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement