Kamis 08 Sep 2016 07:13 WIB

Melihat Mebat, Tradisi Masak Bersama Saat Galungan

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Indira Rezkisari
Seorang pemuka agama Hindu menyiapkan sarana persembahyangan Hari Raya Galungan di Ubud, Bali, Rabu (7/9). Hari kemenangan kebenaran (Dharma) atas kejahatan (Adharma) tersebut dirayakan setiap 6 bulan sekali dengan persembahyangan di tiap-tiap Pura.
Foto: Antara
Seorang pemuka agama Hindu menyiapkan sarana persembahyangan Hari Raya Galungan di Ubud, Bali, Rabu (7/9). Hari kemenangan kebenaran (Dharma) atas kejahatan (Adharma) tersebut dirayakan setiap 6 bulan sekali dengan persembahyangan di tiap-tiap Pura.

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Umat Hindu di Bali kemarin (7/9) merayakan Galungan. Ada sebuah tradisi unik di kalangan generasi muda untuk ikut serta menyambut hari besar keagamaan mereka, yaitu mebat.

Mebat adalah masak bersama di kalangan generasi muda, terutama kaum laki-laki. Mereka biasanya berkumpul di satu rumah atau lokasi dan mengolah berbagai makanan tradisional, mulai dari sate lilit, jukut ares, ayam panggang, hingga nasi lawar.

"Biasanya kami saling berbagi tugas. Ada yang menyiapkan bumbu, memotong hewan, memarut kelapa, dan memasak," kata Putu Gede, warga Denpasar. Bumbu yang digunakan sangat lengkap disebut basa genep atau bumbu inti seperti bawang merah, bawang putih, jahe, kencur, kunyit, cabai, sereh, lengkuas, terasi, dan garam. Menurut lontar Dharma Caruban, basa genap terdiri dari sembilan jenis bumbu dapur yang diperoleh dari tiga unsur, yaitu bawah tanah, permukaan tanah, dan di atas tanah.

Tradisi mebat sudah berlangsung turun temurun dan sangat penting dalam kehidupan sehari. Maknanya, kata Putu adalah bahu membahu dan tolong menolong dalam menyajikan berbaga hidangan khas Galungan dan dinikmati bersama saat hari raya, sehingga memupuk rasa persaudaraan.

Galungan dirayakan setiap enam bulan sekali oleh umat Hindu Bali. Ini adalah hari suci memperingati kemenangan (dharma) atas adharma yang memberi kesejahteraan dari Tuhan Yang Maha Esa. Umat manusia diharapkan menjalani kehidupannya dengan suci dan bersih.

Ciri khas lainnya pada Galungan adalah aneka rupa penjor yang menghiasi sepanjang jalan. Penjor adalah bambu hias yang bentuknya melengkung dan biasanya ditancapkan di depan rumah warga Hindu di Bali. Ni Putu Eka, warga Denpasar lainnya mengatakan harga penjor bervariasi, tergantung kemampuan ekonomi si pemilik rumah.

"Mulai dari satu juta hingga belasan juta," katanya.

Penjor, kata Eka menjadi simbol Naga Besukih yang memberi keselamatan dan kemakmuran bagi masyarakat. Umat Hindu yang memasang penjor berarti mengungkapkan rasa bakti dan terima kasihnya kepada Sang Hyang Widhi. Bambu melengkung itu dihias dengan kelapa, padi, bumbu, kue, pala bungkah, pala gantung, tebu, kain putih, kain kuning dan lainnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement