Jumat 22 Jul 2016 15:00 WIB

Menyeberangi Jembatan Kehidupan di Bibir Pasifik

Jembatan pasir alami yang menghubungkan Pulau Dodola Besar dan Dodola Kecil. Jika air laut pasang pada malam hari, maka permukaan jembatan ini akan hilang seluruhnya.
Foto: Muhammad Hafil/Republika.co.id
Jembatan pasir alami yang menghubungkan Pulau Dodola Besar dan Dodola Kecil. Jika air laut pasang pada malam hari, maka permukaan jembatan ini akan hilang seluruhnya.

Oleh: Muhammad Hafil /Wartawan Republika.co.id

Waktu menunjukkan pukul 15.10 WIT ketika Republika.co.id mendarat di Pulau Dodola, salah satu pulau di gugusan Morotai. Letak gugusan di wilayah terdepan ini berbatasan langsung dengan Samudra Pasifik.

Sinar matahari memberikan rasa hangat bagi telapak kaki yang menginjak pasir halus seperti tepung dan berwarna putih ini.  Masih ada beberapa orang wisatawan  sedang melakukan snorkling dan diving. Keindahan bawah lautnya memang menawan dengan 13 titik penyelaman. 

Pulau Dodola sejatinya terbagi menjadi dua yakni Dodola Besar dan Dodola Kecil. Namun, mulai matahari terbit hingga menjelang terbenam, keduanya menjadi satu. Hal tersebut lantaran munculnya jembatan alami berupa daratan pasir putih yang menghubungkan kedua pulau.  “Ini bisa disebut jembatan kehidupan,” kata Muhlis Eso (42 tahun), seorang pemandu wisata kepada Republika.co.id, Senin (18/7).

Jembatan ini memang seperti hidup. Bagaimana tidak, setelah matahari terbenam jembatan hilang sama sekali tertutup oleh pasang air laut. Panjang jembatan lebih dari 200 meter dan lebarnya sekitar 50 meter. Hampir seukuran  lapangan sepakbola.

Mumpung hari masih terang, Republika.co.id menyeberangi jembatan tersebut. Tempat awal mendarat tadi berada di sebuah dermaga kecil di Pulau Dodola Besar. Tujuan penyeberangan adalah ke Pulau Dodola Kecil.

Melepas alas kaki menambah rasa nikmat saat berjalan di atas jembatan. Telapak kaki bisa merasakan halusnya pasir pulau. Beberapa orang wisatawan terlihat berlarian dan berguling-guling di hamparan pasir yang sehalus tepung itu. Mereka tak khawatir meskipun di kedua sisi jembatan itu adalah air laut yang berwarna biru muda.

Setelah hampir setengah jam berjalan, Republika.co.id sampai di Pulau Dodola Kecil. Di pulau ini tak ada daratan yang luas, isinya masih penuh dengan bukit dan pepohonan. Tepian pulau akhirnya menjadi pilihan yang aman untuk bermain-main.

Waktu mulai menunjukkan pukul 16.45 WIT.  Jembatan yang sudah dilalui tadi mengalami perubahan. Jika awalnya bentuknya lurus , maka sekarang di sejumlah sisinya mulai tertutup air laut.  Bentuknya menyerupai huruf S. Waktu untuk kembali ke Dodola Besar harus disegerakan. Jika tidak nanti keburu air pasang menutupi semua permukaan jembatan.

Republika.co.id tiba di Dodola Besar pada pukul 17.20 WIT.  Halaman cottage menjadi tempat yang baik untuk memandang lautan.  Suguhan kripik pisang yang dimakan dengan sambal dabu-dabu menambah kenikmatan bersantai.  

Sambal dabu-dabu adalah campuran dari bahan-bahan yang terdiri dari cabe merah, cabe hijau, bawang merah, tomat, jeruk nipis, dan garam. Bahan-bahan tadi itu dipotong kecil-kecil dan diaduk rata kemudian disiram dengan minyak goreng panas.

Waktu menunjukkan pukul 18.00 WIT saat air laut semakin menutupi jembatan yang menghubungkan kedua pulau. Hingga akhirnya, pada pukul 18.00 WIT, jembatan pasir  tadi sama sekali tidak kelihatan karena tertutup air laut.

Hari sudah gelap, akhirnya rombongan kembali ke Daruba, pusat kota di Pulau Morotai. Perjalanan hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit menggunakan perahu bermotor kecil. Dengan perahu berkapasitas 15 orang dan harga sewa Rp 1 juta per perahu tulah, seharian ini Republika.co.id mengelilingi gugusan Morotai. 

Sebelum ke Pulau Dodola, Republika.co.id yang menyewa perahu bersama para pelancong lainnya singgah di beberapa pulau di gugusan Morotai. Mulai dari Pulau Morotai sendiri, Pulau Zumzum, Kokoya, dan Loleba.

Masing-masing pulau memberikan keindahannya tersendiri. Hampir semuanya dikelilingi oleh air laut berwarna biru muda dan pasir tepung berwarna putih. Dan, di sejumlah titik, terdapat bangkai kapal laut dan pesawat tempur yang digunakan pada Perang Dunia kedua puluhan tahun lalu. Kendaraan itu karam dan menjadi rongsokan di tepi-tepi pantainya.

Khusus untuk Pulau Zumzum, selain menampilkan keindahan alam pantai, juga memberikan pengetahuan sejarah. Ya, pulau ini dulunya adalah tempat peristirahatan Jenderal Douglas Mac Arthur, seorang panglima perang Amerika Serikat pada Perang Dunia kedua saat bertugas di Morotai.

Masih ada sisa-sisa bangunan peninggalan tentara Amerika di sana. Di antaranya adalah pondasi rumah peristirahatan sang jenderal dan juga pondasi dermaga militer. Untuk mengenang kehadirannya, dibangun sebuah monumen dan patung kepala sang jenderal. 

Tapak tilas

Republika.co.id memang tengah melakukan tapak tilas Perang Dunia kedua. Morotai adalah salah satu lokasi penting wilayah peperangan antara tentara Sekutu dan Jepang. Pada 1942, Jepang merebut Morotai dari Belanda. Namun, Belanda yang kemudian bergabung dengan tentara Sekutu seperti Amerika Serikat dan Australia, mencoba merebut kembali pulau ini pada 1944.

Keesokan harinya, tapak tilas kembali dilanjutkan. Tapak tilas kali ini dilakukan di Pulau Morotai, pulau utama di gugusan Morotai. Rute pertama menuju tempat persembunyian Nakamura, seorang prajurit Jepang yang sembunyi selama 30 tahun setelah Perang Dunia kedua selesai. Dia keluar dari tempat persembunyiannya  di hutan pada 1974 setelah TNI AU berhasil ‘memaksanya’ keluar dan memberi tahu bahwa perang sudah lama usai.

Lokasi persembunyian Nakamura terletak di kawasan hutan perbukitan Desa Dehegila, sekitar 1,5 jam perjalanan dengan mobil dari Daruba, pusat kota Pulau Morotai. Dari atas mobil, Republika.co.id menyaksikan pemandangan yang indah.  Selain bukit-bukit dan hutan, ada juga sebuah perkampungan transmigrasi di desa yang sunyi.

Di tempat ini ada air terjun yang diyakini sebagai tempat persembunyian Nakamura. Sehingga, penduduk setempat pun menamai air terjun ini dengan nama Air Terjun Nakamura. Air terjun ini dialiri oleh Sungai Kokota.

Air terjunnya tidak terlalu besar dan deras. Tetapi, air yang mengalir melewati tiga bebatuan besar berwarna hitam menambah kesan indah. Banyak pelancong yang mandi di air terjun. 

Di atas air terjun ada sebuah bukit bernama Bukit 40. Nama bukit itu  menurut penuturan  penduduk setempat adalah  benteng 40 atau tempat pertahanan Jepang yang ke-40. Artinya, Jepang pada waktu Perang Dunia kedua memiliki 40 titik pertahanan.Dan, Bukit 40 adalah benteng pertahanan terakhir tentara Jepang saat dikepung Pasukan Sekutu. 

Di dekat puncak Bukit 40 itu terdapat tanah lapang yang ditumbuhi oleh rumput savana dan sedikit semak belukar. Penduduk setempat menamai tanah itu dengan nama Helipad atau tempat pendaratan helikopter.

Konon, di bukit itu dulu sering dijadikan tempat landasan helikopter milik Pasukan Jepang untuk mengunjungi pasukan di benteng terakhir itu. Dari bukit ini, terhampar pemandangan yang indah. Lautan Pasifik terlihat dari sini.

Puas menikmati pemandangan air terjun, Republika.co.id kembali ke arah pusat kota. Kali ini, yang dituju adalah daerah Tanah Tinggi. Di tempat ini banyak lokasi   yang menjadi titik-titik sisa peninggalan perang seperti peninggalan dua unit tank amfibi atau Landing Craft Tank (LCT) .

Kedua tank itu letaknya masuk ke dalam perkebunan milik penduduk. Keduanya pun dipayungi atap    untuk memberikan kenyamanan. Kedua tank itu  menjadi rongsokan yang besi-besinya sudah berkarat.

Namun, tank ini berhasil membawa kami menerawang ke masa lalu. Apalagi, berdasarkan keterangan warga, tank yang dulunya dimiliki oleh pasukan Sekutu itu luluh lantak terkena bom ranjau milik pasukan Jepang. Sehingga, bangkainya dibiarkan saja berada di tempat itu.

Perjalanan dilanjutkan ke  Desa Yayasan. Di desa ini ada museum milik masyarakat yang menyimpan sisa-sisa peninggalan perang. Di antaranya, botol-botol minuman milik prajurit, kalung, brevet, hingga persenjataan berat maupun ringan beserta amunisinya.

Museum itu jauh dari kesan museum kebanyakan yang mewah. Museum itu hanya berukuran sekitar  5x5 meter yang terletak di samping. Hanya beratapkan seng dan dinding yang terbuat dari kayu.Tidak ada pendingin ruangan ataupun papan petunjuk.

Namun, museum  itu mampu menarik minat wisatawan baik lokal maupun asing. Adalah Muhlis Eso, sang pemandu wisata ke Pulau Dodola di hari sebelumnya yang merupakan penggagas museum  bersama teman-temannya. Ia menjadi pengumpul  rongsokan peralatan perang  sejak usianya 10 tahun.

Ia mencari dan mengumpulkan sisa-sisa perang  di dalam hutan hingga ke dasar lautan.  Ia menemukan berbagai macam persenjataan, bom, granat, peluru,  brevet, hingga  botol-botol minuman milik serdadu baik Jepang maupun Sekutu. Jumlahnya mencapai ribuan.

Seluruh penemuannya disimpan di sebuah ruangan samping rumahnya yang ia  namakan  sebagai 'Museum Swadaya Perang Dunia Kedua'. Karena paling senior dan menjadi penggagas, ia diangkat menjadi ketua ketua Museum Swadaya Perang Dunia Kedua tersebut.

Tapak tilas dilanjutkan keesokan harinya. Namun, kali ini Republika.co.id melakukannya sendiri tidak bersama para pelancong lainnya. Seorang penduduk menyewakan sebuah motor bebek tuanya seharga Rp 50 ribu per hari untuk mengelilingi sebagian Pulau Morotai.

Jalan kabupaten yang berbalut aspal mulus membuat perjalanan terasa nyaman. Kawasan Air Kaca menjadi daerah pertama yang dikunjungi. Di sini terdapat sebuah goa yang pernah menjadi tempat pemandian Jenderal Mac Arthur.

Goa itu memiliki  sungai  bawah tanah yang muncul ke permukaan. Aliran air sedalam empat meter ini    tembus ke lautan. Beberapa peninggalan asli di tempat ini adalah tangga beton dan tempat duduk berukuran 1x1 meter yang dibangun oleh Sekutu. 

Syukur (46 tahun), seorang penduduk setempat menjadi penjaga tak resmi di tempat itu. Dia juga menjadi pemandu bagi pengunjung . Sama seperti Muhlis, Syukur juga seorang kolektor benda-benda peninggalan perang.

Di membawa Republika.co.id ke rumahnya yang tidak jauh dari goa. Ada baju-baju tentara sekutu, senapan laras panjang, peluru, dan perlengkapan perang lainnya. Sebagai kenang-kenangan, dia memberikan satu butir peluru yang sudah tidak aktif. “Mudah-mudahan bisa kembali lagi mengunjungi saya di sini,” kata dia.

Oleh-oleh besi tua

Sebenarnya, ada beberapa objek wisata alam dan sejarah di tempat ini. Namun, karena keterbatasan waktu, tidak semuanya disinggahi satu per satu.Tetapi sedikit saran untuk pelancong, sempatkanlah singgah ke pusat-pusat kerajinan besi putih di Daruba.

Para pelancong bisa membeli oleh-oleh dan menjadi bukti pernah ke Morotai. Kerajinan besi putih bahan dasarnya adalah sisa-sisa perang yang dijadikan berbagai macam perhiasan. Di antaranya adalah kalung, cincin, dan gelang.

Salah satu pengrajin besi putih, Ikram Paturoh (36 ), menceritakan sejarah bagaimana penduduk setempat mengolah sisa-sisa perang itu. Pada awalnya, pada  tahun 1978, di Pulau Morotai, sebagai salah satu daerah terdepan Indonesia sekaligus sedikit terisolir, jarang ditemukan perkakas rumah tangga seperti panci, sendok, garpu, dan alat-alat masak dan makan lainnya.

Orang tua Ikram dan dan orang-orang tua lainnya di pulau itu berinisiatif untuk membuat sendiri perkakas itu. Bahan bakunya, diambil dari sisa-sisa material perang. Lambat laun, generasi ayahnya itu berhasil menjadikan besi-besi itu sebagai hasil kerajinan tangan di Pulau Morotai.

Proses pembuatan kerajinan besi putih itu dimulai dari pencarian bahan baku. Para pengrajin mencari sisa-sisa material perang di laut dan ke hutan. Di laut, mereka menyelam dan mencari bangkai-bangkai sisa perahu yang karam. Sedangkan di hutan, mereka mencari sisa-sisa perang seperti peluru dan persenjataan perang lainnya baik berat maupun ringan.

Pencarian itu membutuhkan waktu sekitar dua hingga satu pekan. Barang-barang yang diambil tidak utuh. Mereka hanya mempreteli bagian-bagian yang bisa diambil saja. Setelah bahan baku terkumpull, para pengrajin membawanya ke bengkel.

Di sana, mereka mulai mengukir besi-besi itu menjadi pernak-pernik. Hasilnya, kalung, cincin, gelang, anting, peralatan masak dan makan hingga pisau dan pedang, terukir dari sisa-sisa material perang itu.

Para pengrajin tidak menjual langsung  hasil kerajinan kepada pembeli . Mereka menggunakan jasa distributor. Para distributor itu kemudian menjualnya di pasar-pasar yang ada di Pulau Morotai. 

Harga yang dijual beragam. Untuk pernak-pernik seperti cincin, gelang, anting, dan gelang, dijual mulai harga Rp 30 ribu hingga Rp 150 ribu. Namun, untuk yang lebih berkelas seperti pisau dan pedang, dijual mulai harga Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta. “Inilah oleh-oleh khas dari Morotai,” kata Ikram.

Tak terasa, tiga hari sudah mengelilingi gugusan Pulau Morotai. Menyeberangi Jembatan kehidupan di Pulau Dodola seolah mengantarkan Republika.co.id kembali ke masa lalu, yakni ke suasana sejarah Perang Dunia kedua di Bibir Pasifik.

 

Republika.co.id pun kembali ke Jakarta dengan menempuh rute pesawat Pulau Morotai-Ternate-Manado-Jakarta. Untuk informasi bagi pelancong yang ingin ke Morotai, bisa juga melalui jalur laut. Yakni, dari Ternate menyeberang ke Sofifi di Pulau Halmahera selama setengah jam. Kemudian dilanjutkan dengan jalan darat selama tiga jam ke Tobelo. Dari Tobelo, kembali menyeberang ke Pulau Morotai dengan kapal feri atau kapal cepat.

Untuk penginapan, di pulau ini sudah terdapat banyak hotel dengan harga yang terjangkau. Selain itu, juga ada home stay, sebuah rumah milik warga yang dijadikan penginapan bagi para pelancong.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement