Ahad 15 May 2016 08:07 WIB

Lestari Pulau Ku, Lestari Budaya Ku

Temu Budaya Pulau Tidung
Foto: Dokpri
Temu Budaya Pulau Tidung

REPUBLIKA.CO.ID, Semilir angin siang menyapa puluhan warga lintas generasi di bibir pantai selatan, Tidung, Kepulauan Seribu. Generasi tahun 30-an hingga 2000-an berkumpul di sepetak lahan berpayung pohon bakau akhir pekan lalu. Bahasan mereka bukan remeh temeh. Gelaran bertema Temu Budaya Lintas Generasi itu hendak mendata kosa kata orang Tidung berikut kuliner. permainan tradisional, hingga tradisi sosial orang-orang dulu. 

Salah satu tokoh masyarakat yang juga menjadi pembicara, Syamun Siddiq menjelaskan, kekayaan bahasa di Tidung tak lepas dari beragamnya suku yang mendiami pulau tersebut. Menurut dia, setidaknya ada tujuh suku yang hidup pertama kali di pulau yang terletak di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan ini. Dari Banten, Banjar, Kalimantan Timur, Bugis, Mandar, Sumatra hingga Sumba. Sementara itu, suku Betawi, Jawa hingga Sunda datang belakangan setelah zaman kemerdekaan.

Tokoh yang berasal dari generasi 40-an ini menjelaskan, masih ada ciri khas bagi beberapa keluarga di Tidung yang menggunakan bahasa asli suku mereka. Sebagai contoh, panggilan anak ke ayah untuk warga berdarah Kalimantan adalah Encek. Berbeda dengan warga berdarah Bugis yakni Uwak. Untuk warga berdarah Banten akan memanggil dengan sebutan Mamak dan Baba untuk warga Betawi.

Tokoh yang kerap disapa Wak Ale ini menjelaskan, bahasa khas di Tidung tak bisa lepas dari aktivitas sehari-hari para nelayan. Di dalam perahu layar yang pernah digunakan nelayan Tidung dahulu, dikenal penggiling. Istilah untuk menyebut kayu penggulung layar. Bambu yang digunakan untuk memainkan angin disebut pembawon. Untuk menyokong layar, digunakan bambu yang disebut sogol.

Begitu pula dengan angin. Orang pulau dahulu, kata Wak Ale, menyebut istilah angin dengan berbagai macam istilah. Tergantung dari seberapa kuat angin tersebut berembus. Saat angin hanya berembus pelan disebut seriwing, susah angin disebut ngeplak sedangkan angin kencang dikatakan angin tere.

Tak ketinggalan soal kuliner. Salah seorang panitia yang juga pernah menjadi Abang-None dari Kabupaten Kepulauan Seribu, Andi Hakim, mengungkapkan, banyak kuliner yang akrab dengan kehidupan nelayan. Andi pun berkisah tentang pengalamannya sebagai seorang anak nelayan.

Bapaknya sering melaut hingga berbulan-bulan. Dia mencari ikan hingga ke Karimun Jawa bahkan Bali. Andi berkisah, selama bapaknya pergi, ibunya merasa kesepian. Begitu juga kebanyakan istri-istri nelayan. Lantas mereka membuat kue Janda Mengandang. "Ibu-ibu itu merasa menjadi janda saat suaminya pergi,"kata Andi. 

Lain lagi dengan kue Bujang Gemuk. Kue berbahan dasar pisang ini  memperlihatkan perhatian para istri kepada para nelayan saat sedang melaut. Nelayan yang menjadi bujang selama di kapal itu dibekali panganan dari rumah. "Tujuannya meski sedang ‘bujang', badannya tetap gemuk,"tambahnya.

Ghozali, panitia Temu Budaya yang berasal dari generasi 80-an menjelaskan, ide acara ini berasal dari grup whats app para pemuda Tidung. Mereka kerap resah bertanya sebenarnya dari mana muasal mereka. Kata Ghozali, orang Tidung memiliki tradisi khas sendiri yang tak dimiliki suku lain.

Begitu juga dengan kata. Menurut dia, bahasa Tidung merupakan khazanah budaya bangsa yang harus dilestarikan karena belum terdata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. “Ada puluhan kosa kata yang dimasukkan dalam KBBI tapi yang cocok hanya kata Cocol,”kata dia.

Lebih lanjut, Ghozali menjelaskan, ada 130 kosa kata yang dikumpulkan oleh panitia Temu Budaya. Seratusan kata itu akan dibahas bersama warga lintas generasi sehingga terjadi kesepakatan makna. Dia pun mengharapkan sumbangsih para tetua untuk turut menyumbang kata di luar daftar tersebut sehingga tidak ada kata yang terlewat. 

Gozali mengaku tidak ingin Tidung yang menjadi pulau dengan kunjungan wisata terbanyak di antara pulau-pulau di Kepulauan Seribu kehilangan keaslian budayanya. Menurut dia, kekayaan budaya pulau justru yang harus menjadi salah satu daya tarik wisata di Tidung. Tak cuma sekadar hiburan. 

Saat hari beranjak sore, para peserta  kembali menyaring nama-nama yang sempat menjadi perbincangan ketika diskusi dijalankan. Begitu juga kuliner baru dan permainan tradisional.  Di tengah seriwing angin, senja pun mendekap pulau. Seakan tersenyum untuk berterima kasih kepada warga yang peduli pada warisan para orang tua.

(Baca: Menjaga Warisan Orang Pulo).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement