Ahad 08 May 2016 06:39 WIB

Menulis itu Perilaku, bukan Pelajaran ataupun Teori

Para peserta workshop
Foto: Dok ALF
Para peserta workshop "Menulis Kreatif" di ajang ALF, Jumat (6/5) antusias mendengarkan pemaparan Syarifuddin Yunus.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dari dulu menulis sudah dipelajari dengan berbagai teori. Tapi sayang hingga kini perilaku menulis di masyarakat, bahkan di kalangan mahasiswa belum signifikan. Kata pepatah “jauh panggang dari api”.  Padahal seharusnya, menulis itu perilaku, bukan pelajaran atau teori.

Itulah oleh-oleh yang diperoleh sekitar 120 peserta Workshop “Menulis Kreatif” di ajang ASEAN Literary Festival (ALF)  yang digelar di Galeri Cipta 2 Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Jumat (6/5). Workshop itu menghadirkan pembicara Syarifudin Yunus, seorang profesional dan akademisi penggiat sastra, sekaligus penulis 12 buku.

Antusiasme peserta semakin menggelora setelah pemaparan kiat praktis agar bisa menulis kreatif dengan baik. “Menulis kreatif hanya bisa terjadi apabila kita sudah menulis dengan banyak. Menulis itu perilaku,  bukan teori. Anda akan menemukan banyak teori yang ajib bin ajaib jika sudah menulis. Bila Anda tidak pernah menulis apapun, maka teori-teori apapun tidak akan pernah berarti sedikitpun,” ujar Syarifudin Yunus.

Syarifudin  menekankan pentingnya melakukan “Revolusi Mental dalam Menulis” yang mencakup empat hal. Pertama, menulis bukan pelajaran atau teori, tapi perilaku.

 

Kedua,  kata Syarifuddin, menulis bukan minat atau bakat, tapi gaya hidup. Ketiga, menulis bukan sesekali atau waktu senggang, tapi kebiasaan. “Keempat, menulis  lebih dahulu sebelum berbicara,” ujarnya.

Syarifuddin menambahkan, sekarang ini banyak orang sudi meluangkan waktu untuk melampiaskan gaya hidup atau lifestyle-nya. Mulai dari nongkrong di café, fashion, kulineran atau lainnya hanya untuk membangun citra diri dan merefleksikan status sosial. “Mengapa menulis tidak bisa dijadikan gaya hidup?  Silakan tanya kepada diri masing-masing,” tuturnya.

Syarifuddin menegaskan, menulis kreatif atau menulis dengan cara yang beda hanya akan terjadi jika seseorang  memenuhi dua syarat. “Yakni, mau menulis setiap hari dan menulis sebagai kebiasaan dan gaya hidup,” paparnya.

Workshop Menulis Kreatif ini mendapat apresiasi dan tepuk tangan yang meriah. Apalagi pada kesempatan tersebut, Syarifuddin menyodorkan bukti nyata, yakni  diluncurkannya buku Kumpulan Cerpen “Bukan Senyuman Terakhir” karya mahasiswa yang dibimbing langsung oleh Syarifudin Yunus.

“Saya berkepentingan menjadikan menulis sebagai term of reference (TOR), gaya hidup yang bikin eksis seseorang termasuk para anak muda. Karena hari ini, kita butuh masyarakat yang lebih banyak menulis daripada berbicara,” ujar Syarifuddin.

Dalam workshop tersebut,  Syarifudin yang juga dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indoonesia di Universitas Indraprasta PGRI dan Universitas Negeri Jakarta berbagi proses kreatifnya dalam menulis 12 buku.

Buku-buku yang ditulisnya itu antara lain, Kompetensi Menulis Kreatif (2015), Jurnalistik Terapan (2010), Kumpulan Cukstaw Cerpen “Surti Bukan Perempuan Metropolis” (2014), dan Kumpulan Cerpen Religius “Surti Tak Mau Gelap Mata” (2015).

Menurut Syarifuddin, workshop Menulis Kreatif di ajang ALF ini bisa menjadi momentum “kebangkitan” anak-anak muda Indonesia dan penulis pemula untuk selalu dan terus berkarya. “Lewat tulisan-tulisan yang dikemasnya setiap hari. Karena menulis adalah perilaku dan gaya hidup, bukan pelajaran atau minat bakat,” tutur Syarifuddin.

Karena itu, kata Syarifuddin,  mulailah menulis sekarang . Ia lalu mengutip Pramoedya Ananta Toer,  “Menulis itu adalah keberanian. “

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement