REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua ASITA Asnawi Bahar mengatakan, Indonesia perlu memiliki bursa pariwisata sehebat Internationale Tourismus Bourse (ITB) Berlin, Jerman. ITB Berlin merupakan bursa pariwisata terbesar di dunia.
“Indonesia harus punya travel mart seperti ini, tempat bertemunya sesama perusahaan tour and travel bertemu, seller dan buyer, karena potensi Indonesia sangat bagus,” ungkap Asnawi Bahar dalam keterangan tertulisnya, Senin (15/3). Asnawi turut hadir di bursa pariwisata ITB Berlin 2016 dari mulai pembukaan hingga penutupan.
Ia menilai, saat ini antara outbond dan inbound pariwisata Indonesia masih belum berimbang. "Orang Indonesia yang ke luar negeri masih 30 juta, sedangkan turis yang masih baru 10 juta. Tugas kita ke depan adalah memperbanyak inbound, arus wisman yang masuk ke Tanah Air. Karena tidak bisa melarang orang Indonesia untuk pergi ke luar negeri, yang bisa dilakukan adalah memperbanyak yang ke dalam negeri,” ujarnya.
Asnawi menekankan Indonesia harus menjadi penyelenggara travel mart. Saat ini, Malaysia punya MATTA Fair, yang kemudian dikembangkan ke negara-negara bagian, dalam satu tahun bisa lebih dari tujuh seri. Singapura, Thailand, Filipina, Jepang, Korea, Hongkong, Cina, India, Australia, Dubai, juga memiliki ajang bursa pariwisata.
“Sayang, kita belum punya,” cetus Asnawi Bahar. Menurut dia, pariwisata Indonesia hidup karena pasar domestik yang semakin kuat. Daya beli masyarakat Indonesia, kata dia, semakin kuat.
Di era global saat ini, pihaknya tak ingin Indonesia hanya dijadikan target market bagi negara-negara lain, termasuk ASEAN yang semakin agresif. "MEA – Masyarakat Ekonomi Asean sudah mulai, jika internal tidak disiapkan dengan matang, boleh jadi, kita hanya menjadi pasar potensial saja," tegasnya.
Asnawi percaya dengan proses yang sedang dijalankan Menpar Arief Yahya, termasuk pengembangan destinasi dan industri pariwisata yang semakin gencar dan cepat. Sementara promosi ke manca negara dengan berbagai saluran komunikasi juga besar-besaran untuk menancapkan brand Wonderful Indonesia. “Saya lihat, progress pembangunan untuk memperkuat sektor pariwisata ini sudah mulai kuat,” ucapnya.
Pihaknya menilai hal itu sebagai langkah awal yang cepat dan baik. Menurut dia, respons pasar juga positif. "Di depan, ada banyak tantangan yang sudah harus cepat ditangani dengan baik. Jangan sampai potensi yang sudah ada dan dimiliki Indonesia itu tidak bisa dioptimalkan dengan baik,” kata dia.
Menpar Arief Yahya menjelaskan, pengembangan destinasi ini tidak seperti lari sprint 100 meter. Sekarang dilepas tembakan start, 9-10 detik kemudian sudah diketahui siapa-siapa pemenangnya.
Menurut Arief, pekerjaan pariwisata itu tidak ada yang bersifat jangka pendek. Semuanya, medium dan panjang. Mungkin karena ini, tidak banyak kepala daerah yang tertarik menjadikan sektor pariwisata sebagai sektor utama pembangunan di daerahnya.
Investisi yang ditanam saat ini, lanjut Arief, baru akan berjalan 2-3 tahun, lalu mulai kelihatan respons publiknya setelah 5 tahun. Sementara masa kerja bupati wali kota hanya 5 tahun, sehingga kalaupun jadi, hanya dicatat dalam prasasti atau monument sebagai pejabat yang meresmikan objek wisata saja. "Mungkin karena inilah, pariwisata dianggap 'tidak seksi', selama ini."
Menpar yakin, semakin banyak kepala daerah, bupati, wali kota dan gubernur yang meyakini bahwa pembangunan jangka menangah dan panjang itu penting. Karena masyarakat akan mendapatkan benefit lebih sustain, berkelanjutan, dan jangka panjangnya. Hanya pariwisata yang memiliki nilai keberlangsungan yang lebih panjang. “Istilahnya, semakin dilestarikan, semakin mensejahterakan,” paparnya.
Dia mencontohkan Bali, di saat pertumbuhan ekonomi nasional 5 persen, Pulau Dewata lebih dari 7 persen.