Jumat 22 Jan 2016 11:36 WIB

Daya Tarik Jakarta sebagai Destinasi Wisata Halal Dunia

Kota Tua, menjadi salah satu lokasi favorit wisman, dan dapat mendukung promosi wisata halal di Jakarta.
Foto: Antara
Kota Tua, menjadi salah satu lokasi favorit wisman, dan dapat mendukung promosi wisata halal di Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra/Wartawan Republika

Suara kereta rel listrik (KRL) yang akan berhenti di Stasiun Gondangdia membangunkan Pak Irwan. Jam menunjukkan sekitar pukul 05.00 WIB. Pak Irwan yang menginap di Hotel Sofyan Betawi, Jalan Cut Mutia Nomor 9, Menteng, beranjak dari tempat tidurnya dan mulai beraktivitas pagi.

Menginap di Hotel Sofyan, memang menjadi pilihannya. Di hotel yang berkonsep syariah ini, ia mengaku mendapat ketenangan. Warga Depok ini menyatakan, pilihan jatuh ke Hotel Sofyan dilakukan dengan pertimbangan untuk kebaikan diri sendiri.

Menurut dia, konsep Hotel Sofyan berbeda dengan hotel lainnya. Di dalam kamar, ia menemukan sebuah Alquran yang diletakkan di meja samping kamar tidur. Fasilitas Alquran dan sajadah untuk shalat diakuinya sangat bermanfaat. "Yang saya suka, hotel ini tidak hanya fisiknya yang menerapkan syariah, tapi juga sistemnya," katanya kepada Republika.co.id, belum lama ini.

Irwan menuturkan, Hotel Sofyan tidak hanya berkutat pada simbol-simbol, seperti penyediaan Alquran di kamar tidur untuk meneguhkan sebagai hotel syariah. Aturan meniadakan diskotek ataupun minuman mengandung alkohol, serta melarang pasangan yang bukan suami istri menginap di situ, membuatnya gembira.

Dia mendapat cerita, pegawai hotel bisa menolak pasangan yang bukan suami istri kalau ingin menginap. Pun, ketika ada kejadian seorang laki-laki yang menginap tiba-tiba membawa perempuan, kata dia, manajemen hotel menyisihkan pemasukan dari penghuni kamar tersebut di luar pendapatan resmi. "Ini patut diapresiasi. Ini yang saya maksud Hotel Sofyan tidak hanya menerapkan syariah sebatas fisik, tapi juga sistem manajemennya," kata Irwan.

Karena itu, ketika Kementerian Pariwisata (Kemenpar) menggaungkan untuk mempromosikan wisata halal di Jakarta, ia menilai, keberadaan Hotel Sofyan bisa dijadikan rujukan. Bukan bermaksud fanatik, menurut dia, konsep wisata halal hendaknya tidak dipahami untuk kelompok agama tertentu saja, tetapi lebih pada penyediaan fasilitas bagi wisatawan. "Saya merasa lebih terjamin saja kenyamanan dengan model hotel seperti itu."

Mempromosikan Jakarta

Ketua Asosiasi Hotel dan Restoran Syariah Indonesia (AHSIN) Riyanto Sofyan mengatakan, Jakarta sebenarnya sangat berpotensi menjadi kota utama wisata halal dunia. Tidak melulu berdasarkan jumlah masyarakat Muslim mayoritas di Ibu Kota, tetapi pada banyaknya fasilitas yang ada di Jakarta. Hal itu ditandai dengan masuknya Jakarta dalam nominasi destinasi terbaik wisata halal dunia 2015 di Uni Emirat Arab.

Menurut dia, Jakarta sudah seharusnya serius untuk menggarap konsep wisata halal demi menarik banyak wisatawan, khususnya mancanegara. Apalagi, di Jakarta tersedia berbagai macam jenis wisata. Dia mengatakan, misalnya, wisatawan yang ingin ke pantai bisa mendatangi Ancol dan yang ingin berbelanja malah dengan mudah menemukan beragam mal.

Kalau ingin wisata makanan, sambung dia, terdapat beragam warung, kafe, restoran, hingga pusat kuliner yang dapat didatangi di Jakarta. Pun, kalau ingin wisata budaya, bisa mengunjungi rumah adat Betawi, dan yang ingin wisata sejarah dapat mengunjungi Kota Tua, Monas, dan lokasi museum yang tersebar. Belum lagi, keunggulan Jakarta adalah merupakan jantung negara dan aksesnya mudah dikunjungi dari manapun. "Wisatawan dari negara-negara Muslim itu juga gemar shopping dan di Jakarta, semuanya tersedia," katanya kepada Republika.co.id.

Pun dengan infrastruktur penunjang, lanjut dia, pemerintah perlu untuk menyediakan kebutuhan spesifik, seperti makanan halal, sarana ibadah, atau ketersediaan air bersih mencukupi untuk digunakan wudhu. Kalau segala fasilitas itu tersedia, pengalaman wisatawan secara psikologis membuat mereka tertarik untuk datang lagi ke Jakarta.

Terkait fasilitas hotel, juga mesti dibuat untuk mengakomodasi wisatawan agar merasa dimanjakan. Salah satu yang disorotnya adalah model toilet di hotel berbintang yang menggunakan tisu dan air yang minim. Hal itu tentunya dikeluhkan dan merepotkan wisatawan yang ingin menjaga kebersihan diri ataupun kesuciannya. "Hotel-hotel di Jakarta tak ramah daya tariknya. Misalnya, soal toilet itu kadang dipermasalahkan wisatawan. Ini harus diperbaiki dalam kerangka mengembangkan pariwisata halal," tutur pemilik Hotel Sofyan tersebut.

Menurut dia, sebenarnya geliat mempromosikan wisata halal sudah jauh lebih baik jika dibandingkan dekade 90-an. Sayangnya, komitmen untuk lebih serius mengelola wisata halal kurang ditunjukkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI.

Hal itu dapat dilihat dari penghargaan yang diterima Lombok sebagai destinasi wisata halal terbaik di dunia. Jakarta sempat masuk nominasi, tapi kalah lantaran kurang mendapat dukungan dari kepala daerah dan Dinas Pariwisata dalam hal komitmen menjaga keberlangsungan tujuan wisata halal.

"Jakarta sangat berpotensi menjadi destinasi wisata halal dunia. Ketika masih jadi gubernur, Pak Jokowi mengeluarkan pergub tentang restoran halal. Tapi, jalannya sertifikasi halal ini yang tak diperhatikan," kata Riyanto.

Meski begitu, kesadaran membangun promosi yang dibuat Kemenpar sebenarnya sudah meningkat. Pun, dengan gaungnya sekarang lebih terasa. Sayangnya, kendala muncul lantaran masih ada paradigma di kalangan masyarakat dan birokrat untuk memudahkan segala hal-hal kecil, tapi sangat penting untuk diterapkan.

Misalnya, pengelola restoran atau rumah makan wajib mengurus sertifikat halal demi menarik minat wisatawan, khususnya dari Timur Tengah yang dikenal memiliki banyak uang, tapi malah tidak dilakukan. "Ini penting untuk industri pariwisata halal Indonesia, tapi tidak terpikirkan," kata Riyanto.

Dia meluruskan paradigma yang terbangun di masyarakat. Menurut dia, wisata halal itu banyak dipersepsikan mirip dengan wisata religi, mengunjungi masjid atau ziarah ke makam. Padahal, wisata halal itu seperti biasa saja, cuma wisatawan dari negara Muslim punya kebutuhan khusus yang harus dipenuhi. Hal itu mirip kalau Indonesia ingin menggaet wisatawan Jepang, Cina, Korea Selatan, atau Eropa, perlu memberikan fasilitas yang dibutuhkan mereka agar mau datang ke Indonesia.

Belajar dari Bangkok

Riyanto menyarankan, Jakarta sebaiknya mencontoh Bangkok dalam mempromosikan wisata halal. Meski jumlah penduduk Muslim di Thailand di bawah enam persen, jumlah wisatawan Muslim yang ke sana jauh lebih banyak ketimbang ke Jakarta. Thailand juga menyandang status sebagai negara produsen halal terbesar di Asia, bukan Indonesia.

Berdasarkan data yang diketahuinya, Thailand sanggup mendatangkan 4,4 juta wisman dari negara Muslim, dan Indonesia hanya meraup 1,7 juta wisman. Dia menegaskan, capaian Thailand itu bukan didapat secara kebetulan, melainkan strategi dalam mengemas wisata halal. Itu lantaran otoritas pengelola wisata di sana mulai putar arah dalam mengembangkan manajemen pemasarannya. Jika dulunya Thailand mengedepankan paket sex oriented, sejak 1990-an fokus menggaet wisatawan family oriented.

Karena menyasar potensi wisatawan dari negara Muslim, negeri Gajah Putih berbenah dengan menyediakan beragam fasilitas untuk memanjakan wisman, misal pembangunan tempat ibadah yang mudah ditemukan hingga pembangunan Halal Science Center. "Kalau mau shalat Jumat di Bandara Suvarnabhumi, itu lebih mudah daripada di Bandara Soekarno-Hatta yang harus keluar dulu."

Riyanto melanjutkan, pengelolaan Hotel Sofyan yang menjadi pelopor wisata halal di Jakarta membuktikan dengan pelayanan maksimal, dapat menarik pelancong dari berbagai status. Menurut dia, meski menerapkan sistem syariah, Hotel Sofyan tidak hanya menjadi pilihan wisatawan Muslim. Bahkan, pengurus wali gereja maupun petinggi agama non-Muslim beberapa kali menginap di hotelnya. Dari hasil penelusurannya, tidak ada keluhan yang disampaikan mereka. "Makanya, wisata halal sesuai syariah bukan berarti untuk Muslim saja, pasar non-Muslim."

Hal itu menunjukkan cara pengemasan yang inklusif dan tidak menonjolkan simbol-simbol yang mencolok membuat semua kalangan bisa menerimanya. Kalau sistem seperti itu diterapkan untuk mempromosikan wisata halal, ia yakin Jakarta akan menjadi surga bagi wisatawan dari berbagai negara Muslim, dan bisa mengalahkan Kuala Lumpur yang menggaet 6,1 juta wisman.

Dia optimistis, target mendatangkan 20 juta wisman Muslim pada akhir 2019 dapat tercapai kalau seluruh pemangku kepentingan mulai serius berbenah memberikan yang terbaik demi kemajuan wisata halal di Indonesia, khususnya Jakarta.

Bersifat inklusif

Menpar Arief Yahya mengatakan, penggalakan wisata halal dipilih karena bersifat inklusif dan pas untuk diposisikan dalam bisnis. Menurut dia, wisata halal tidak semata terkait menyasar wisman dengan agama tertentu. Dia merujuk pada negara mayoritas non-Muslim yang dekat Indonesia, Thailand ataupun Singapura, bisa mendulang pendapatan dari wisata halal.

Kalau negara tetangga saja bisa, ia yakin Indonesia seharusnya bisa melakukannya lebih baik demi menggaet wisman dalam jumlah besar. "Ini bisnis seperti biasa. Jadi, berlaku hukum bisnis. Kalau layanan bagus, pendapatan juga bagus," ujar Arief.

Menurut dia, wisata halal secara bisnis memiliki pasar industri yang sangat besar. Pemerintah, sambung dia, menargetkan 20 persen wisman dari 12 juta orang pada 2016, yang ke Indonesia disumbang dari segmen wisata halal. "Thailand mayoritasnya non-Muslim. Tapi mereka bisa memosisikan bisnis mereka untuk wisatawan Muslim," tutur Arief.

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Catur Laswanto mengatakan, promosi wisata halal yang diseriusi Kemenpar merupakan langkah tepat. Menurut dia, Jakarta sudah semestinya menjadi tujuan utama wisata halal dunia. Meski tak memerinci jumlahnya, ia mengakui jumlah kunjungan wisman dari negara yang mayoritas penduduknya Muslim, jumlahnya mengalami lonjakan.

Hal itu kalau dikelola dengan tepat, kata dia, dapat mendatangkan pemasukan untuk pemda dalam jumlah signifikan. "Wisatawan dari Malaysia, Arab Saudi, Qatar, dan negara-negara Timur Tengah yang masuk ke Jakarta terus meningkat," katanya menerangkan kepada Republika.co.id.

Catur mengatakan, promosi wisata halal di Jakarta sebenarnya tidak ada masalah. Kecenderungan yang dihadapinya hanya pada persoalan bagaimana menarik minat wisman agar mau lama-lama di Jakarta. Pasalnya, segala lokasi yang menjadi tujuan utama wisman Muslim di Malaysia dan Thailand, sebenarnya juga ada di Jakarta.

Misalnya, mereka mencari tempat makan halal, baik dari tingkat warung pinggir jalan hingga restoran tersedia. Pun, kalau ada wisman yang tak ingin memakan daging, kata dia, ada lokasi alternatif yang menyediakan makanan laut. "Yang vegetarian kalau mau makan, juga ada restoran khusus yang menyediakannya. Jadi, semua ada."

Karena itu, menurut dia, yang terpenting adalah promosi wisata halal itu juga harus dibarengi dengan wisata lain untuk saling melengkapi. Tidak bisa Dinas Pariwisata DKI hanya fokus membatasi wisata halal, tapi mengabaikan kenyamanan wisman lain yang memiliki keinginan berbeda. Hanya, ia tidak memungkiri, wisata halal ini sedang tren dan peluang menggaet wisman di sektor ini sangat menjanjikan.

"Kami ingin menggalakkan juga wisata halal agar bisa seperti Lombok yang meraih penghargaan destinasi halal tingkat dunia," kata Catur.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement