Matahari masih belum menuju puncak langit, tapi teriknya saat itu membuat Pulau Tinabo Besar, Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan sangat silau. Kaca mata hitam yang saya gunakan menjadi satu-satunya perisai yang bisa diandalkan dalam kondisi seperti ini.
Tapi kali ini panasnya terpaan matahari tidak menembus badan saya. Baju selam warna hitam sudah membungkus sekujur tubuh saya. Hanya kepala dan rambut yang masih ‘telanjang’ saat itu.
Di dermaga Pulau Tinabo Besar, saya bersama tiga rekan lainnya berkumpul. Kami sudah tak tahan untuk segera menyelam. Meskipun ini pengalaman pertama, dan keahlian renang kami tak terlalu baik, tapi hasrat untuk segera mencoba diving sangat menggebu.
Instruktur kami, Ronal, tampaknya sudah paham dengan gelagat yang kami tunjukan. Segera setelah memberikan perkenalan tentang diving dan menjelaskan satu persatu fungsi dari alat yang akan kami pikul, penyelaman pun dilakukan.
Kaki saya sudah dibungkus sepatu renang ‘kaki katak’. Lebar sekali sepatu ini, membuat saya sulit untuk berjalan.
Sambil menggendong tabung oksigen metalik yang menempel di punggung, saya berjalan menuju tepi dermaga. Tepi dermaga ini berbentuk tangga yang dapat dituruni. Anak tangga terbawahnya, langsung menempel ke permukaan laut.
Instruktur saya, Dirga, memberikan masker kacamata yang sekaligus digunakan untuk menutupi lubang hidung agar tak kemasukan air. Setelah semua persiapan selesai, saya langsung menceburkan diri ke permukaan laut yang dalamnya sekitar lima meter itu.
Langkah saya diikuti oleh tiga rekan lainnya. Di titik ini, saya tidak pernah membayangkan beginilah rasanya mengambang di permukaan laut meski tabung oksigen yang beratnya luar biasa menempel di punggung.
Berat tabung beserta isinya mencapai 15-20 kilogram. Di sisi lain, otak ini ingat betul sebelum menceburkan diri ke permukaan laut, Dirga memasangkan pemberat lima kilogram di pinggul saya. Pemberat itu berbentuk lempengan logam yang dieratkan ke sebuah sabuk. Meski sudah memikul beban berat, tubuh saya masih mengapung di permukaan.
Awalnya saya santai. Kenikmatan mengambang di laut tanpa perlu repot mengayuh kaki sungguh membuat saya rileks. Tapi kemudian semua seolah berubah menjadi misi bertahan hidup di dalam laut.
Pengalaman pertama selalu berharga, tapi tak melulu berjalan sesuai rencana. Saya sudah diingatkan bahwa bernafas dengan tabung oksigen melalui selangnya tak senyaman melalui hidung. Selang tabung oksigen ini terhubung ke mulut, dan dari situlah saya harus bernafas. Tentu bernafas dengan cara ini jarang atau bahkan tak pernah saya lakukan sehari-hari.
Setelah mencoba menyesuaikan diri dengan cara bernafas ini, saya akhirnya bisa beradaptasi. Kawan saya lainnya beberapa ada yang kerepotan dan memilih untuk terus melatih pernafasan.
Dirga lalu membantu saya untuk bisa menyelam ke dalam laut. Alat mengambang yang menempel di sekujur tubuh saya dikempeskan. Caranya cukup dengan memencet sebuah tombol yang menempel di selang sisi kiri tas tabung oksigen saya.
Alat ini seperti pelampung tipis yang menempel sepaket dengan tabung oksigen. Ketika kita mengambang, pelampung ini mengembang mirip seperti pada lapisan kain alat tensi.
Setelah Dirga mengempeskan pelampung itu, perlahan saya turun menuju dasar laut. Saya kembali tak bisa langsung menyesuaikan diri. Kali ini tekanan terhadap gendang telinga terasa sangat kuat. Saya sempat acuh dengan perkataan Ronal saat perkenalan diving di dermaga tadi.
“Saat kita menyelam, telingan akan terasa sakit, rasanya persis naik pesawat,” kata Ronal sebelumnya.
Saat diberi arahan itu, saya sempat berpikir bahwa rasa sakit di telinga akan bersifat relatif. Sama seperti turun dari pesawat, kadang sakit, tak jarang tidak.
Tapi ternyata menyelam memberikan sensasi sakit yang lebih tajam. Telinga saya benar-benar seperti ditusuk-tusuk. Dirga cekatan, melihat orang yang dipandunya tak berkonsentrasi, dia lalu mengarahkan telunjuknya dan memberikan simbol gerakan agar saya mengikuti gerakannya.
Dia lalu meminta saya untuk memencet hidung dan membuang udara dari telinga persis seperti yang peragakan. Saya lalu mengikutinya. Viola, teknik ini berhasil, telinga saya sudah baik-baik saja.
Kegiatan selam pun kembali dilanjutkan, dengan perasaan yang tak bisa dipungkiri sedikit was-was. Saat turun menuju dasarnya, cahaya silau berangsur redup. Tapi pemandangan kemudian seperti berada dalam akuarium saja.
Hamparan terumbu karang dan ikan-ikan yang berenang di sekitarnya membuat saya benar-benar menikmati kegiatan ini. bentuk karang di sini menurun, seperti tebing.
Dirga mengarahkan tangannya lurus ke depan, sebuah tanda bahwa saya harus terus maju. Setelah setengah jam menyelam, kini saya cukup paham dengan kecantikan Taka Bonerate luar dalam.
Indah nian bagian bawah laut itu. Saya melihat padang rumput yang unik karena berada di bawah air. Saya geleng-geleng dibuatnya ketika melihat ikan hiu melintas tenang tanpa menghiraukan kami.
Ikan hiu ini besar, berbeda dengan apa yang ada di bibir pantai Tinabo. Selain itu, terdapat ikan-ikan berwarna-warni yang seumur hidup baru saya lihat. Mereka lalu lalang seperti tak menghiraukan kehadiran kami.
Ragama biota unik yang saya ketahui seperti macam-macam Kima, ikan singa, ikan batman, karang kipas, lili laut, bintang laut, penyu dan lainnya melintas tenang di perairan ini. Laut tempat saya menyelam hanya sekitar 10 meter dari bibir pantai, tapi keindahan terumbu karangnya seolah ada di lautan lepas.
Selaput-selaput yang tumbuh di karang menari-nari mengikuti arus air saat itu. Saya sempat menyentuh beberapanya. Jemari tangan ini masih ingat betapa halus dan lembutnya perkenalan saya dengan terumbu karang di Tinabo Besar.
Setelah lama berada di dalam air saya mulai kelelahan. Sambil memberi tanda, Dirga dan rekan-rekan saya lainnya sepakat untuk naik ke permukaan.
Pelampung yang kami gunakan kembali mengembang dengan hanya cukup ditekan saja tombolnya. Badan saya pun mulai perlahan naik. Butuh sekitar 10 detik bagi kami untuk sampai ke permukaan.
Saat berada di permukaan, bisa ditebak, kami saling berteriak antusias. Kata-kata seperti, ‘gila’, ‘keren’, ‘luar biasa’ saling bersahutan saat itu.
Tak disangka, di dermaga, orang-orang yang ada dalam rombongan perjalanan kami ke Taka Bonerate sudah menunggu. Mereka meminta giliran untuk bertukar diving. “Ayo sini pemandunya giliran bantuin kita ya,” ujar Kepala Humas Pelni yang sudah siap menyelam, Sujadi.
Lupa waktu rasanya bila sudah menyelam. Seolah diri ini masuk ke dalam alam lain yang sama sekali tak biasa ditemui dalam keseharian. Meski tak memiliki lisensi diving, kita dapat dengan mudah menyelam dengan ditemani oleh para instruktur handal di Taka Bonerate.
“Sayang sekali sudah jauh-jauh ke sini kalau tidak diving, tentu kami akan bantu supaya siapapun bisa ikut melihat keindahan bawah laut Taka Bonerate,” ujar Ronal.