REPUBLIKA.CO.ID, Pernah menghindari daging hamburger untuk alasan keamanan? Sebelumnya memang pada 2014 Departemen Pertanian AS (USDA) melaporkan 2,5 juta pon daging dan ayam ditarik kembali karena terkontaminasi patogen seperti E Coli, salmonella, dan listeria.
"Sayangnya patogen tidak membeda-bedakan. Mereka (pantogen) dapat ditemukan dalam daging yang berasal dari peternakan kecil dan besar, serta mereka yang menggunakan praktek organik dan yang tidak," kata CEO StopFoodBorneIllness.org Deirdre Schlunegger seperti dikutip Safebee beberapa waktu lalu.
Menurut Schlunegger, untuk menjaga keamanan daging konsumen harus mengetahui suhu yang tepat. Daripada memesan daging di restoran mewah lebih baik meminta memasak daging dengan suhu tertentu.
Mintalah pelayan restoran untuk memasak daging sapi setidaknya dengan suhu 160 derajat Farenheit.
“Pada 1993 negara-negara Barat terkena wabah E Coli yang terkait dengan sajian hamburger. Tingkat kematangan untuk menyajikan makanan cepat saji menggarisbawahi pentingnya daging untuk dimasak pada suhu tertentu,” jelas Schlunegger.
Sementara itu, banyak orang percaya perubahan warna pada daging merupakan indikator daging sudah dimasak dengan benar. Padahal hal itu tidak sepenuhnya benar. Sebuah penelitian dari Kansas State University menemukan banyak daging sapi berubah menjadi coklat sebelum suhu mencapai 160 derajat F. “Ketika daging hambuger dimasak pada suhu yang menyeluruh, bisa aman dan juicy, terlepas dari warnanya,” ungkap Schlunegger.
Untuk daging lainnya, juga mempunyai suhu tepat masing-masing. Ayam dan kalkun misalnya, harus dimasak dalam suhu 165 derajat F. Sementara potongan segar daging merah sapi dan domba untuk steak bisa dimasak dengan suhu 145 derajat dengan diistirahatkan selama tiga menit.
Sedanglan untuk daging babi dan ham dimasak dengan suhu 145 derajat dengan tiga menit waktu istirahat. Selanjutnya untuk daging panggang dan ham segar dimasak pada suhu 140 derajat.
(Baca Juga: Jangan Biarkan Daging Terlalu Lama di Luar Kulkas).