REPUBLIKA.CO.ID, Mendengar kata Garut, yang terlintas dalam benak adalah kelegitan dodol dan kesejukan udaranya yang menusuk tulang.
Namun, pesona keindahan kota yang dikelilingi empat gunung yakni Gunung Guntur, Gunung Karacak, Gunung Papandayan, dan Gunung Cikuray ini tak sebatas kelegitan dodolnya saja.
Banyak hal yang perlu Anda selami dari kota ramah penduduk ini. Tiga diantaranya adalah, kuliner, alam, dan budaya yang masih dipertahankan.
Garut sudah dikenal luas sebagai kota yang memiliki sajian kuliner khas berupa dodol. Kenikmatan dodol Garut sejak bertahun-tahun yang lalu sudah dikenal luas. Bahkan kuliner ini selalu menjadi buah tangan wisatawan setiap kali pelesiran ke kota dengan udara sejuk ini.
Menurut pemerintah kota setempat, dodol Garut sudah menjadi komoditas yang dapat mengangkat citra kabupaten ini menjadi salah satu penghasil dodol terbaik di Indonesia. Sejak tahun 1926, dodol Garut mulai dikenal luas karena memiliki rasa yang khas dan kelenturan yang tidak sama dari produk yang beredar di pasaran.
Variannya pun beragam, mulai dari dodol wijen, dodol kacang, aneka dodol buah seperti dodol nanas, dodol nangka, dodol tomat, dodol durian dan kini juga sudah banyak beredar dodol susu, dodol keju, dodol kismis hingga dodol coklat (cokelat isi dodol). Di Garut, Anda tak perlu repot mencari toko dodol. Pasalnya, hampir di pinggir jalan mudah ditemui pelbagai warung oleh-oleh yang menjual camilan manis dan lezat ini.
Bukan hanya dodol yang menjadi daya tarik wisata, udaranya yang sejuk cenderung dingin terkadang menjadi alasan wisatawan asal Jakarta memilih berlibur di kota ini. Aktifitas yang banyak dilakukan wisatawan adalah berendam di air hangat dari mata air yang mengalir di bawah kaki Gunung Guntur. Masyarakat adat dulu percaya bahwa dengan berendam di air hangat disini dapat menyembuhkan pelbagai penyakit.
Ini yang menjadi alasan, sampai sekarang banyak wisatawan berkunjung ke Garut tak lepas dari menghangatkan badan seraya melihat keindahan pesona tebing-tebing indah dan Gunung Guntur tepat di hadapan mereka.
Gunung Guntur ini merupakan gunung yang terkenal memiliki jalan curam nan menantang oleh para pecinta alam. Gunung yang memiliki ketinggian 2.249 mdpl ini bertipe stratovolcano. Di era 1.800-an gunung ini merupakan salah satu gunung berapi paling aktif di Jawa. Meski tidak begitu tinggi, namun banyak pendaki yang merasa butuh perjuangan keras untuk menapaki kedua puncaknya.
Anda bisa memulai pendakian dari jalur Curug Citilis. Jalur ini masih terdapat pepohonan rindang dan jelas. Namun, setelah jalur ini Anda akan menemukan jalur yang cukup keras yang terdiri dari bebatuan besar dengan sudut kemiringan 45 derajat. Jalur menanjak ini akan berhenti bila Anda sudah tiba di Curug Citilis atas. Jalur ini sudah mulai landai, dihiasi dengan padang savana dan ilalang tinggi namun matahari terasa sangat terik.
Mendekati puncak pertama, jalur pendakian semakin terjal. Namun setelah jalan cukup datar, banyak pendaki yang membuka tenda di tempat ini. Banyak pemandangan indah yang bisa diresapi. Dari puncak pertama Anda dapat melihat pemandangan Kota Garut ketika mulai senja dengan hamparan ilalang yang bergoyang.
Untuk sampai ke puncak kedua, perjalanan terjal sudah sedikit berkurang. Hanya membutuhkan waktu kurang lebih 40 menit, Anda akan tiba di atas puncak ini. Pemadangan yang dapat terlihat selain keindahan Kota Garut, hamparan tenda warna-warni para pendaki yang membuka camp nampak jelas dari atas ini. Jika menengadahkan kepala ke atas, jutaan bintang siap menyapa mata Anda.
Selesai dari wisata adventure, Garut juga dikenal akan wisata sejarah budaya yang masih sangat kental. Tengoklah kawasan Candi Cangkuang yang terletak Kampung Pulo, wilayah Cangkuang, Kecamatan Leles, Garut, Jawa Barat. Candi ini pertama kali ditemukan di Tatar Sunda serta merupakan satu-satunya candi Hindu yang ada di Jawa Barat. Candi ini terletak bersebelahan dengan makam Embah Dalem Arif Muhammad, sebuah makam kuno pemuka agama Islam yang dipercaya sebagai leluhur penduduk Desa Cangkuang.
(Candi Cangkuang, salah satu candi Hindu di Garut, Jawa Barat. Foto: Republika/Winda Destiana)
Candi ini berada di sebuah pulau yang berada di tengah danau Cangkuang dan sebuah pemukiman adat dimana penduduknya tak boleh lebih dari 6 kepala keluarga. Menurut cerita rakyat setempat, masyarakat Kampung Pulo dulunya beragama Hindu, lalu Embah Dalem Arif Muhammad singgah di daerah ini karena ia terpaksa mundur karema mengalami kekalahan pada penyerangan terhadap Belanda.
Karena kekalahan ini Embah Dalem Arif Muhammad tidak mau kembali ke Mataram karena malu dan takut pada Sultan Agung. Beliau mulai menyebarkan agama Islam pada masyarakat kampung Pulo. Embah Dalem Arif Muhammad beserta kawan-kawannya menetap di daerah Cangkuang yaitu Kampung Pulo sampai beliau wafat dan dimakamkan disana.
Beliau meninggalkan 6 orang anak wanita dan satu orang pria. Oleh karena itu, dikampung pulo terdapat 6 buah rumah adat yang berjejer saling berhadapan masing-masing 3 buah rumah dikiri dan dikanan ditambah dengan sebuah Masjid. Jumlah dari rumah tersebut tidak boleh ditambah atau dikurangi serta yang berdiam di rumah tersebut tidak boleh lebih dari 6 kepala keluarga.
Jika seorang anak sudah dewasa kemudian menikah maka paling lambat 2 minggu setelah itu harus meninggalkan rumah dan harus keluar dari lingkungan keenam rumah tersebut. Walaupun 100 persen masyarakat kampung Pulo beragama Islam tetapi mereka juga tetap melaksanakan sebagian upacara ritual hindu. Untuk berziarah ke makam Embah Dalem Arif Muhammad juga tidak boleh sembarangan.
Wisatawan dilarang datang pada hari rabu, bahkan dulu penduduk sekitar tidak diperkenankan bekerja berat, begitu pula Embah Dalem Arif Muhammad tidak mau menerima tamu karena hari tersebut digunakan untuk mengajarkan agama. Masyarakat hingga saat ini masih percaya, bila melanggarnya maka timbul mala petaka bagi masyarakat tersebut. Wisatawan bisa berkunjung sekitar pukul 07.00-17.00. Biayanya mulai dari Rp 3 ribu untuk turis lokal dan Rp 5 ribu untuk turis mancanegara.
(Rumah Adat Kampung Pulo, Desa Cangkuang, Garut, Jawa Barat. Foto: Republika/Winda Destiana)
Satu hal lagi yang tersohor dari Kota Garut adalah produksi jaket kulit nya yang sudah terkenal hingga ke negeri jiran Malaysia. Tak lengkap bila Anda sudah berendam air panas, mendaki puncak Gunung Guntur dan mencicipi dodol bila tak membawa jaket kulit sebagai oleh-oleh. Kepopuleran jaket kulit asal Garut ini sudah tidak perlu diragukan lagi.
Bahkan Garut juga dijuluki sebagai Leather Town, atau kota kulit oleh masyarakat setempat. Jaket kulit yang ditawarkan pun beragam bentuk, jenis dan ukuran. Mulai dari ukuran anak-anak hingga dewasa. Rata-rata jenis kulit yang dipakai adalah kulit domba asli yang harganya pun mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Tinggal Anda memilih mana yang cocok untuk dikenakan.
Garut perlahan tetapi pasti mulai membenahi diri dalam segi pariwisata. Keindahan alam dan keragaman budaya serta kearifan lokal di kota ini masih sangat kental. Mengunjungi dan menjelajahi kota kulit ini tak akan cukup dalam waktu satu hari. Pasalnya, banyak tempat indah yang tak kan cukup dijelaskan oleh kata. Anda harus datang dan membuktikannya sendiri.
(Leather Town, atau kota kulit di Garut, Jawa-Barat. Foto: Republika/Winda Destiana)
Pesona Garut, pesona khas budaya Indonesia.