Rabu 02 Dec 2015 20:01 WIB

Tren Anak Berkebutuhan Khusus Plus Meningkat

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Indira Rezkisari
Siswa anak berkebutuhan khusus (ABK) duduk diantara alat kesenian musik tradisi saat bersiap mengikuti pelajaran seni musik di sekolah luar biasa (SLB) Bina Kasih, Ciwastra, Kota Bandung, Rabu (12/8).  (foto : Septianjar Muharam)
Siswa anak berkebutuhan khusus (ABK) duduk diantara alat kesenian musik tradisi saat bersiap mengikuti pelajaran seni musik di sekolah luar biasa (SLB) Bina Kasih, Ciwastra, Kota Bandung, Rabu (12/8). (foto : Septianjar Muharam)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Beberapa tahun terakhir ini, anak berkebutuhan khusus plus-plus jumlahnya cenderung meningkat. Anak berkebutuhan khusus plus-plus tersebut, memiliki lebih dari satu kelainan. Misalnya, ada yang menyandang tuna netra disertai autis, ada yang tuna rungu disertai tuna wicara dan hiperaktif serta beberapa kelainan lainnya.

"Sebelum tahun 2000, kita kan tak mengenal anak autis. Dulu, anak-anak berkebutuhan khusus itu kelainannya tunggal. Kalau sekarang, banyak," ujar Ketua Program Studi (Kaprodi) Program Studi Pendidikan Khusus Sekolah Pascasarjana UPI, Djadja Rahardja, di acara Seminar Nasional Konseling Keluarga Pendidikan Khusus Sekolah Pasca Sarjana UPI, dengan tema "Membangun Kolaborasi Kerja yang Efektif Antara Sekolah dan Keluarga dalam Membimbing Anak Berkebutuhan Khusus, Rabu (2/11)

 

Menurut Djadja, sejak tahun 2000 anak autis semakin banyak. Begitu juga, anak  yang memiliki banyak kelainan jumlahnya meningkat. Ia memprediksi, ada beberapa faktor yang menyebabkan anak-anak tersebut mengalami banyak kelainan. Penyebab yang sangat dominan, adalah lingkungan. Salah satunya, kandungan timbal yang berpengaruh pada pertumbuhan janin.

"Timbal ini, menyebabkan ada ketidakseimbangan pada janin," katanya.

Kalau janin tak seimbang, kata dia, akan berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Salah satunya, menyebabkan munculnya autisme. Penyebab lainnya, adalah faktor makanan. Misalnya, makanan berpengawet dan mengonsumsi ayam yang disuntik banyak hormon.  

Salah satu kasus, kata dia, ada seorang dokter yang sangat doyan mengonsumsi ikan bandeng, anaknya mengalami kelainan. Setelah dicari penyebabnya, ternyata ikan bandeng yang selama ini dikonsumsi kadar airnya mengandung timbal.

"Timbal ini terakumulasikan, bisa merusak janin," katanya.

Djadja mengatakan, meningkatnya jumlah anak berkebutuhan khusus tersebut menyebabkan tingginya kebutuhan guru berkebutuhan khusus. Apalagi, Permendiknas No 70/2009 mengharuskan daerah memberikan perhatian pada pendidikan inklusi. Minimal, satu sekolah harus ada guru lulusan anak berkebutuhan khusus.

"Di Jabar kan ribuan jumlah sekolahnya. Jadi, Jabar membutuhkan sekian ribu guru berkebutuhan khusus," katanya.

Namun, kata Djadja, guru dan infrastrukturnya saat ini masih belum siap menjalankan pendidikan inklusi. Begitu juga, orang tua murid masih banyak yang belum paham tentang pendidikan inklusi.

Permen tersebut pun, kata dia, masih memiliki kekurangan. Karena, tak mengatur angka ideal rasio kebutuhan guru dan muridnya. Padahal, seharusnya untuk anak dengan kelainan berat idealnya rasio perbandingan guru dan siswa, harus 1:1. Artinya, satu guru menangani satu murid. Di negara maju, konsep satu berbanding satu ini sudah diterapkan.

"Idealnya, kalau bicara layanan harus individual. Jadi, kalau ada lima anak setiap anak programnya harus berbeda," katanya.

Sementara menurut salah seorang Ibu Penyandang tuna netra, Fierza, awalnya saat menyekolahkan anaknya ke sekolah umum, Ia mengalami kesulitan. Karena, masih ada teman anaknya yang mengolok-ngolok. Namun, Ia selalu menekankan pada anaknya agar percaya diri dan menggali semua potensi yang dimiliki anaknya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement