REPUBLIKA.CO.ID, International Peace Cafe merupakan sebuah kafe pop up yang berdiri untuk merayakan keberagaman Kota Bristol, Inggris. Sesuai namanya, International Peace Cafe ini tidak menerima diskriminasi dan rasisme.
Di tengah gejolak antaretnis, bahkan antaragama, dan kelompok, rasanya tempat makan seperti ini harus makin banyak.
Dengan mengusung keragaman budaya, ada lebih dari seratus menu khas dari berbagai negara yang disajikan. Tim yang memasak memasak makanan pun berasal dari berbagai negara seperti Iran, Rusia, Somalia hingga Sudan.
Pengunjung International Peace Cafe ini pun berasal dari berbagai etnis, budaya dan agama. Kehadiran International Peace Cafe seakan menjadi angin segar di tengah kekerasan multikultur yang kerap terjadi di seluruh dunia.
Pendiri International Peace Cafe di Bristol ini ialah mantan kepala produksi BBC, Kalpna Woolf. Woolf meyakini bahwa makanan yang lezat merupakan sebuah bahasa internasional yang dapat mendekatkan banyak orang di tengah keragaman latar belakangnya. Sebelum mendirikan International Peace Cafe, Woolf membentuk sebuah organisasi bernama 91 Ways yang terinspirasi dari 91 bahasa dan logat yang digunakan di kmpung halamannya. Woolf sendiri menggambarkan International Peace Cafe sebagai sebuah kafe di mana setiap orang bisa berkumpul.
(baca: Makanan Super untuk Tingkatkan Konsentrasi)
"Setiap orang bisa datang ke sini, terlibat dalam perbincangan hangat, bertemu dengan orang dari berbagai latar belakang, dan mendengarkan kisah mereka," ujar Woolf.
Oleh karena itu, Woolf bersama kelompok komunitas 91 Ways yang ia dirikan juga mendorong para tamunya untuk bercerita tentang resep keluarga kegemaran mereka dan merekamnya. Hal itu Woolf lakukan untuk lebih memperkaya menu-menu yang disajikan dalam International Peace Cafe di Bristol ini.
Dari upaya tersebut, Woolf mengatakan saat ini International Peace Cafe sudah memiliki lebih dari 120 resep masakan yang berasal dari berbagai komunitas dan negara. Salah satunya ialah resep Fal Medamas yang dibagi oleh Susan dari Suriah. Kepada Woolf, Susan bercerita bahwa menu makanan tersebut merupakan masakan yang selalu tersaji setiap Jumat dan disantap bersama dengan seluruh anggota keluarga Susan di sebuah meja bundar.
"Mereka bersantap setelah para pria menunaikan shalat Jumat. Akan tetapi, karena perang, dia (Susan) tak lagi bisa merasakan momen berkumpul bersama keluarga itu lagi," terang Woolf penuh simpati.
Woolf yang keluarganya berasal dari India juga meyakini bahwa ketika sekelompok orang saling berbagi makanan, di saat yang sama mereka juga saling berbagi pengetahuan tentang identitas khas negaranya. Di saat itu pula, setiap orang dapat saling berbagi cerita mengenai warisan budaya mereka.
"Ketika Anda makan bersama seseorang, Anda menjadi bagian dari kenangan mereka, dan mereka pun akan menjadi bagian dari kenangan Anda," ungkap Wool menirukan pesan ayahnya, dikutip dari Timeout.