REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Besaran tarif merupakan salah satu komponen penting agar wisatawan domestik dan mancanegara tertarik berkunjung ke tempat-tempat wisata alam Indonesia.
Menteri Pariwisata Arief Yahya sampai saat ini masih menemukan penentuan tarif yang terlalu besar dan tidak transparan. Sehingga, wisatawan pun merasa enggan untuk datang karena khawatir dirugikan.
"Tarif berwisata kerap tidak jelas, pelayanan macam ini yang paling banyak dikeluhkan," kata dia pada acara penandatanganan MoU Pengembangan Pariwisata Alam dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Auditorium Soedjarwo Gedung Manggala Wanabhakti pada Selasa (27/10).
Jika tarif langganan mahal di luar batas wajar, lanjut dia, jangan harap pariwisata Indonesia akan laku. Tarif harus jelas dan transparan berbasis IT dan komputerisasi. Inilah yang harus dibenahi agar target wisatawan mancanegara dan domestik meningkat di sektor pariwisata alam. Di samping itu, nilai tambah harus diperhatikan dimulai dari mengunggulkan branding.
KLHK dan Kemenpar melakukan nota kesepahaman untuk menata sektor pariwisata alam dan kehutanan. Salah satu fokus di antaranya pengembangan pariwisata Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) melalui proyek "Lido Integrated Resort and Theme Park". Pengembangan melibatkan Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosiatem KLHK, Balai Besar TNGGP, PT MNC melalui unit usahanya PT Lido Nirwana Parahyangan.
Melalui proyek, akan dilakukan perencanaan pengembangan wisata alam terintegrasi, peningkatan kualitas produk, sarana prasarana wisata alam serta peningkatan promosi taman nasional. Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan wisatawan lokal, regional maupun internasional sehingga dapat meningkatkan pendapatan daerah khususnya pengembangan obyek wisata alam di wilayah Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Tachrir Fatoni lantas memaparkan empat strategi yang harus ditempuh jika benar-benar ingin menjadikan hutan sebagai pariwisata alam unggulan.
Di antaranya perlu dilakukan penguatan terhadap high end based destination guna memwroleh efek ganda yang lebih tinggi dengan menawarkan pelayanan, kenyamanan dan kemewahan kepada pengunjung dengan tetap mengedepankan konservasi.
"Termasuk tarif, kita sudah ada pedomannya, tapi ke depan akan dikaji lagi agar seauai dengan kemampuan wisatawan, serta tetap bisa memberi nilai tambah untuk ekonomi masyarakat setempat," kata dia. Revisi akan segera dimulai setelah dilakukan penandatanganan MoU.
Langkah selanjutnya, perlu dilakukan pengembangan konektivitas berbagai lokasi destinasi wisata alam yang ada dalam klaster terbatas. Langkah tersebut guna menjawab kebutuhan wisatawan dalam menjangkau akses ke dari satu lokasi wisata alam ke lokasi wisata yang lain. Itu semua harus didukung dengan peningkatan infrastruktur maupun kemudahan aksesibilitasnya.
Tachrir mengamini pula soal pentingnya branding untuk mengkatrol nilai tambah. Di mana, taman nasional dapat dikemas sesuai segmen pasar yang ingin digarap.
"Ia juga bisa diintegrasikan ke dalam kawasan strategis nasional dan kawasan strategis pariwisata nasional," katanya.
Ia melanjutkan, langkah yang terpenting selanjutnya yakni mewujudkan 3P alias Public Private Partnership. Posisi pemerintah sebagai penentu kebijakan pengembangan, sedangkan swasta dan investor bertugas membangun sarana prasarana berstandar internasional.
Di sisi lain, masyarakat lokal dapat berperan di sektor eko-edukasi melalui jasa interpretasi dan pemanduan dalam pengembangan usaha jasa wisata alam. Masyarakat, lanjut dia, juga diperkenankan membangun homestay dan memasarkan souvenir melalui penataan ruang dan penataan sikap yang pro konservasi.