REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kekayaan sumber pewarna alam yang menjadi warisan budaya Indonesia dan terus digali kekayaannya dinilai tidak akan menghancurkan konfrontasi pewarna sintetis untuk fesyen, demikian disampaikan Dirjen Industri Kecil Menengah (IKM) Kementerian Perindustrian, Euis Saedah.
"Serat dan warna alam tidak akan menghancurkan pewarna sintesis. Karena di sana juga ada tenaga kerja dan memiliki segmen tersendiri. Bagi Indonesia, yang terpenting adalah menggali potensi pewarna alami," kata Saedah di Jakarta, Selasa (13/10).
Dengan potensi pewarna alam yang sangat bersar tersebut, lanjut Euis, Indonesia punya warna tersendiri dalam mengembangkan mode, yang bisa dibawa ke dunia internasional dan menjadi kebanggaan. Menurut dia, Indonesia sangat terkenal dengan warna alam dari daun nila atau indigofera yang menghasilkan warna biru.
Beberapa pewarna alam dari tumbuh-tumbuhan di Indonesia dapat diambil dari daun, kulit pohon, kayu pohon, bunga, buah, biji buah, kulit buah dan akar, di mana zat yang terkandung pada tumbuhan tersebut bisa menghasilkan beragam warna.
Selain warna biru dari Indigofera, ada juga warna kuning yang berasal dari kayu nangka dan kayu tegeran, warna cokelat dari kayu tingi dan warna kemerahan dari secang.
Euis menambahkan, pewarna alam memang tidak dapat menghasilkan warna yang sangat terang, sebagaimana dihasilkan oleh pewarna sintetis, namun selain bernuansa alami, pewarna alam juga memiliki manfaat lain dari segi psikologis.
"Pewarna alam itu teduh, menenangkan, menenteramkan. Bahkan, ketika kita menggunakan pakaian dari pewarna alam, itu nyamuk saja tidak mau mendekat. Konon, ular juga tidak mau dekat-dekat, karena merasa itu alami dan teman mereka," kata dia.
Untuk itu, Kementerian Perindustrian menggelar pameran pewarna alam, Swarnafest 2015, yang akan digelar di Pantai Nembrala, Rote Ndao, NTT, pada 6-7 November 2015.