REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA -- Bagi masyarakat Gunungkidul, makanan bernama Gatot di zaman perjuangan merupakan makanan yang sangat elit. Sebab pada waktu itu, sangat jarang warga Gunungkidul bisa mengonsumsinya.
"Pada zaman kerajaan dan pra kemerdekaan masyarakat Gunungkidul hanya makan bonggol pisang. Sehingga di sana banyak terjadi kasus hongerudin. Sehingga bagi keluarga yang bisa makan gatot atau tiwul, itu hebat," kata Immawan Wahyudi, mantan wakil bupati Gunungkidul, DIY kepada Republika/.co.id di Yogyakarta, Rabu (7/10/).
Namun, kini masyarakat Gunungkidul sudah bisa mengolah gaplek menjadi gatot yang enak. "Mereka sudah pandai mengolah gaplek lebih baik. Empuk, tidak alot dan cenit-cenit. Sehingga banyak orang yang menggemarinya.
Bahkan sudah banyak warga yang mengusahakan gatot dan tiwul sebagai oleh-oleh khas Gunungkidul. Gatot dan tiwul dikemas dengan kotak dan harganya sangat terjangkau.
Menurut Immawan, gatot dan tiwul merupakan makanan yang digunakan untuk mempertahankan hidup di daerah tandus. Ketela pohon yang banyak tidak dikonsumsi sekaligus habis, namun dikeringkan kemudian dimasak saat dibutuhkan.