Kamis 30 Jul 2015 15:41 WIB

Indonesia Perlu Tata Kelola Ekowisata Satwa Liar

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Winda Destiana Putri
Ekowisata (Ilustrasi)
Foto: Google
Ekowisata (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Sejak ekowisata dikembangkan di dunia sebelum 1990-an, Indonesia optimistis karena memiliki begitu banyak obyek wisata berbasis satwa liar.

Hal tersebut sayangnya tak kunjung menjadi kenyataan saat ini, sehingga Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara lain dalam pengembangan ekowisata.

Ahli Ekowisata dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Profesor EKS Harini Muntasib menilai permasalahan ini dikarenakan belum adanya kesamaan persepsi tentang ekowisata berbasis satwa liar oleh para pemangku kepentingan. Masing-masing kementerian terkait memiliki  kebijakan, strategi, serta rencana strategis masing-masing sehingga minim sinergi.

"Dalam hal ini, tata kelola ekowisata satwa liar di Indonesia diperlukan," ujar Harini kepada Republika, Kamis (30/7).

Ekowisata satwa liar adalah suatu kegiatan untuk menikmati satwa liar sebagai obyek dan daya tarik ekowisata. Sebagai obyek, satwa liar bisa menjadi atraksi jika waktu perjumpaannya di alam bisa persis diketahui.

"Jika kita ingin melihat banteng di padang penggembalaan, maka harus dipelajari kapan banteng itu merumput dengan nyaman, biasanya sekitar pukul 06.00-08.00 WIB dipagi hari dan 16.00-18.00 WIB disore hari," contoh Harini dalam konferensi pers di Kampus IPB Baranang Siang.

Contoh lainnya, kata akademisi sekaligus ahli badak ini, melihat badak jawa paling mudah adalah saat mamalia besar tersebut sedang berkubang. Pengelola harus menentukan sebelumnya dimana lokasi kubangan permanen badak, sehingga dapat dicari tempat mengamati badak yang tidak mengganggu badak saat berkubang.

Mamalia di Taman Nasional Bali Barat justru lebih mudah dilihat saat musik kering. Saat itu, satwa liar akan terkonsentrasi pada lokasi-lokasi yang terdapat sumber air minum.

Guru Besar dari Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata ini juga melihat perlunya interpretasi dalam tata kelola ekowisata di Indonesia. Alasannya, satwa tidak akan pernah bisa berbicara dengan manusia.

Gajah-gajah di Tangkahan misalnya, walaupun sudah terlatih, maka aktivitas hariannya juga tetap harus dilakukan sebelum melayani pengunjung. Pengelola bisa menginterpretasikan bahwa gajah itu akan melakukan ritual hariannya, seperti menuju pinggir sungai, kemudian mengeluarkan kotorannya.

Gajah-gajah itu kemudian akan masuk ke sungai dan bermain-main dengan kawanan gajah lainnya. Setelah itu, baru gajah itu bisa diajak berinteraksi dengan pengunjung, mulai dari aktivitas memandikan gajah, memberi makan gajah, foto bersama gajah, hingga menunggangi gajah untuk berjalan-jalan. (Mutia Ramadhani)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement