Ahad 21 Jun 2015 00:46 WIB

11 Rahasia Sukses Novel “Ayat-Ayat Cinta”, Sarat Pesan Mencerahkan (bag 5-Habis)

 Penulis, Habiburrahman El Shirazy saat membacakan salah satu penggalan pada bedah buku Api Tauhid di Islamic Book Fair, Landmark, Kota Bandung, Sabtu (6/6).  (foto : Septianjar Muharam)
Penulis, Habiburrahman El Shirazy saat membacakan salah satu penggalan pada bedah buku Api Tauhid di Islamic Book Fair, Landmark, Kota Bandung, Sabtu (6/6). (foto : Septianjar Muharam)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Novelis Habiburrahman El-Shirazy kembali hadir menyapa pembaca setia Harian Republika melalui cerita bersambung berjudul “Ayat-Ayat Cinta 2”. Cerita bersambung ini merupakan  sekuel (lanjutan) novel “Ayat-Ayat Cinta” yang diterbitkan oleh Republika Penerbit.

Novel  yang ditulis oleh alumnus Al-Azhar University Kairo, Mesir itu menggebrak perhatian khalayak dan sampai saat ini masih bertengger sebagai salah satu novel Indonesia terlaris. Apa sebetulnya rahasia sukses novel “Ayat-Ayat Cinta”? Setidaknya ada 11 rahasia yang membuat novel “Ayat-Ayat Cinta” sukses dan menjadikan penulisnya sebagai miliarder.

Kunci sukses pertama novel AAC adalah orisinalitas. Kedua, detil yang menggoda. Ketiga, konflik yang kuat. Keempat, unsur jenaka yang menghibur.  Kelima, penuh kejutan. Keenam, penyelesaian yang melegakan.

Kunci sukses ketujuh novel AAC  adalah sarat  pesan yang mencerahkan. Misalnya, kepatuhan seorang istri kepada suami. Walaupun Aisha berasal dari keluarga yang terpandang dan kaya raya, namun begitu menikah dan menjadi istri Fahri, ia merendahkan dirinya (tawadhu) dan menyerahkan hidupnya kepada sang imam dalam keluarganya, yakni suami.

‘’Diriku sudah aku wakafkan di jalan Allah. Aku siap hidup dan berjuang di mana saja mendampingi perjuangan suamiku tercinta,’’ tegas Aisha tanpa ragu sedikitpun.’’ (hlm 217) ‘’…. Aku siap dalam suka maupun duka.’’ (hlm 218) ‘’Lapar kenyangku  adalah atas  kebijakanmu. Kaulah yang menjatah dana untuk diriku. Kaulah yang menentukan besarnya  dana belanja tiap bulan. Kalau aku minta sesuatu maka aku akan minta padamu. Kaulah imamku.’’ (hlm 274)

Sebagai seorang istri, Aisha  rela berkorban untuk suaminya. Pengorbanannya yang terbesar adalah ketika ia mengizinkan bahkan meminta suaminya (Fahri) untuk menikahi Maria demi kemanusiaan, agar Maria bisa sembuh dari penyakitnya., bisa sadar dari komanya. ‘’Fahri, menikahlah dengan Maria. Aku ikhlas.’’ (hlm 376)

Seperti halnya istri yang salehah adalah harta yang paling berharga, demikian pula suami yang saleh adalah harta yang paling berharga. Seperti perkataan Aisha kepada Fahri: ‘’Harta dan kekayaan bisa dicari, tapi suami yang saleh dan memiliki rasa cinta sedemikian tulus dan bersihnya seperti dirimu adalah karunia Allah Azza wa Jalla yang tiada terkira.’’ (hlm 297)

Jangan takut menikah dalam keadaan miskin, yang penting baik agama (akhlak)-nya: ‘’Baginda Nabi dulu menikah dalam keadaan miskin. Sayyidina Ali bin Abi Thalib juga menikah dalam keadaan miskin.’’ (hlm 202)

Pentingnya mendidik anak dengan didikan agama yang baik, antara lain dengan mencontoh Luqman Al Hakim: ‘’Jika aku punya anak kelak, aku ingin mendidiknya seperti Luqman mendidik anaknya. Aku ingin menasihatinya seperti Luqman menasihati anaknya. Aku ingin bersikap bijaksana padanya seperti Luqman bijaksana pada anaknya.’’ (hlm 299)

Gelar akademis bukanlah segala-galanya untuk maju dalam hidup.  ‘’Di dunia ini sangat banyak orang yang sukses tanpa gelar akademis….’’ (hlm 352)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement