Ahad 31 May 2015 15:23 WIB

Penginapan Komersial di Bali Wajib Disertifikasi

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Winda Destiana Putri
Sol House Resort, Jimbaran, Bali
Foto: Kurnia Land
Sol House Resort, Jimbaran, Bali

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Bali yang mengandalkan sektor pariwisata dinilai paling siap dari sisi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan fasilitas untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akhir tahun ini.

Hanya saja, semua itu harus dilengkapi dengan sertifikasi, khususnya terkait pelayanan dan kenyamanan berwisata. "Seluruh penginapan, mulai dari hotel bintang lima, bintang tiga, vila, sampai hotel melati pun nanti harus disertifikasi," kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bali, Panudiana Kuhn kepada Republika, belum lama ini.

Meski demikian, Apindo Bali berharap sertifikasi ini tidak dijadikan ladang bisnis oleh pihak-pihak tertentu. Panudiana menilai pemerintah harus memfasilitasi ini sebab sektor pariwisata memberi kontribusi besar terhadap APBN.

Ketua Bali Villa Association (BVA), Mangku Suteja sebelumnya mengatakan banyak vila tak berizin di Bali. Seluruh pemilik vila hendaknya mematuhi aturan pendirian bangunan untuk kepentingan komersial. Kerja sama dengan pemerintah juga diharapkan bisa menertibkan vila-vila tak berizin yang mengatasnamakan vila pribadi.

"Kami mengimbau seluruh anggota BVA untuk segera mengurus sertifikasi melalui praaudit oleh Lembaga Sertifikasi Usaha (LSU) Bidang Pariwisata," ujarnya.

Kementerian Pariwisata juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) Pariwisata No. 29/ 2014 tentang Standar Usaha Vila. Saat ini, BVA Bali memiliki sekitar 80 anggota aktif yang terdiri dari pengusaha vila dan pengelola vila yang beprofesi.

Dinas Pariwisata Bali mencatat ada 2.212 hotel dengan total 50 ribu kamar yang beroperasi di seluruh Bali. Akan tetapi, fakta riil di lapangan lebih besar mencapai 60 ribu kamar. Alasannya, banyak terdapat vila, pondok, dan penginapan ilegal lain yang belum berizin. Hal ini berdampak pada penurunan tingkat hunian hotel di Bali dari 62 persen pada 2013 menjadi 51 persen diakhir 2014.

Suteja mencontohkan banyak orang asing yang menyewa tanah untuk membuat vila di Bali. Oknum ini menyewakan penginapannya tanpa izin, tidak membayar pajak, bahkan menetapkan tarif di bawah tarif normal. Hal ini sebagaimana yang dijumpai di Kuta, Canggu, dan Batubelig.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement