Rabu 20 May 2015 08:28 WIB

Wisata Syariah Menanti Dukungan Pemerintah

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Winda Destiana Putri
Sejumlah kaum Muslim berjalan usai menuaikan shalat Jumat di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Provinsi ini tengah berbenah menjadi kawasan destinasi wisata syariah.
Foto: Republika/Prayogi/c
Sejumlah kaum Muslim berjalan usai menuaikan shalat Jumat di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Provinsi ini tengah berbenah menjadi kawasan destinasi wisata syariah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belajar dari negara-negara lain, perkembangan pariwisata syariah mau tak mau harus didukung pemerintah.

Direktur Fastcomm Irfan Wahid mengungkapkan, pariwisata syariah harus mendapat dukungan pemerintah. Jika tidak, sulit berkembang.

Banyak hal bisa pemerintah tempuh untuk itu mulai dari memudahkan perusahaan untuk memproduksi produk halal melalui kemudahan permodalan dan membuat sistem yang memudahkan akses pemodal.

Begitu pula kemudahan akses teknologi dengan memberikan pelatihan dan peningkatan kapasitas secara rutin untuk memaksimalkan penggunaan teknologi dalam mengembangkan usaha, peningkatan promosi, pendampingan kewirausahaan di bidang rancang, dan peningkatan SDM.

Alat komunikasi pintar yang kini banyak dimiliki masyarakat bisa dimanfaatkan untuk menyediakan informasi seluas-luasnya kepada masyarakat dengan mudah. Ia mencontohkan berwisata ke Jepang yang kini mudah karena sudah ada peta, rute transportasi dan lain-lain.

''Indonesia sebenarnya punya Jakarta Good Food Guide yang masih belum banyak diketahui. Jadi harus ada membuat aplikasi atau laman serupa untuk panduan halal. Pemerintah juga harus turut membesarkan itu,'' tutur pria yang biasa disapa Ipang ini dalam forum diskusi pariwisata syariah dan gaya hidup halal yang digelar Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) beberapa waktu lalu.

Ia berharap pemerintah daerah bisa juga mendorong sektor pariwisata halal dengan membuat program lebih terintegrasi untuk pengembangan wisata. Karena kebijakan pemerintah daerah bergantung pimpinan, Ipang merasa perlu ada Undang-Undang yang mengatur ini.

Direktur Ogilvy Public Realtions Rizanto Binol melihat kebijakan pemerintah sekarang, sasaran utama adalah Cina yang mayoritas non Muslim dan belum tentu mau memanfaatkan pariwisata syariah.

Indonesia punya potensi paling besar untuk pariwisata halal dan jadi target utama negara-negara lain yang justru Muslimnya sedikit. Rizanto mencontohkan beberapa negara yang berhasil memaksimalkan promosi pariwisata syariah yang terintegrasi dalam program pariwisata nasional mereka. Tentu ini tak lepas dari dukungan pemerintah setempat.

Belajar dari Singapura, populasi Muslim di sana terbilang sedikit. Namun, Singapura bisa jadi destinasi wisata paling ramah Muslim karena melakukan kampanye di semua lini.

Mereka berhasil membangun citra dan integrasi ekonomi dan pariwisata dalam pola pencitraan yang universal. Dalam pola ini dimasukkan informasi yang memfasilitasi umat Islam untuk beribadah tanpa secara khusus memberi label syariah.

Berbeda dengan Malaysia yang pariwisata syariahnya didukung penuh pemerintah, lengkap dengan standardisasi ISO pariwisata sehingga label halal yang ada tidak asal tempel.

Hotel dan restoran yang punya label halal menjadi indikator mereka sudah melakukan standardisasi. Itu yang memperkuat mereka melakukan pencitraan pariwisata syariah tanpa mengkhususkan labelnya.

''Malaysia dulu selalu mengampanyekan Truly Asia dengan sentuhan kreatifitas. Kampanye mereka memasukkan unsur Islam, itu jadi penguatan,'' ungkap Rizanto.

Sama seperti Singapura, tingkat kunjungan wisatawan yang mulai meningkat masuk ke Jepang membuat Pemerintah Jepang memfasilitasi Muslim tanpa melakukan pencitraan besar-besaran. Mereka bekerja sama dengan agen perjalanan untuk mengenalkan adanya paket wisata ramah Muslim.

Hong Kong juga mulai menangkap sinyalemen yang sama. Dari riset Badan Pariwisata Hong Kong 2014 lalu, Muslim enggan ke sana karena sulit mencari makanan halal. Rencananya tahun ini Hong Kong akan mulai mengenalkan paket wisata halal yang didukung pemerintah.

Akademisi dan Ketua Dewan Masjid Nagoya Profesor Yamamoto mengungkapkan, sesuai konstitusi Jepang, pemerintah tidak boleh ikut campur urusan agama. Hanya saja, untuk meningkatkan pariwisata halal, kali ini pemerintah harus turun tangan.

''Ini hal baru, bagaimana menerima wisatawan Muslim. Hanya dari sisi itu saja, bukan agama,'' ungkap Yamamoto.

Bandar udara di Jepang merupakan milik swasta. Mereka berpikir pula bagaimana bisa melayani wisatawan dengan baik sehingga tidak keberatan memasang fasilitas yang berkaitan dengan kebutuhan wisatawan Muslim, meski saat ini yang ada baru sebatas tempat shalat.

80 ribu wisatawan dari Malaysia dan Indonesia per tahun masuk ke Jepang. Perusahaan transportasi lain seperti kereta memang belum begitu gencar soal fasilitas ini.

Tapi karena ada Olimpiade 2020 di Tokyo, akan banyak Muslim datang. Karena itu persiapan terus dibangun dan pemerintah juga sadar untuk memperbaiki sistem guna menerima mereka. Karena itu situasi pariwisata Jepang cepat berubah.

Dari 125 juta warga Jepang hanya 50 ribu Muslim dan hanya 10 persennya yang merupakan warga asli Jepang. Jadi, memang tidak mudah mempertemukan Muslim asli Jepang dengan masyarakat umum.

Karena itu, kalau mau memasang fasilitas khusus Muslim di tempat umum, yang memakai sangat sedikit. Sehingga memang masih sulit menemukan fasilitas khusus Muslim di area umum.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement