Sabtu 18 Apr 2015 09:02 WIB

Bagaimana Seorang Penggencet Lahir

Menggencet anak lain sebenarnya merupakan fase dalam kehidupan anak, namun tetap perhatikan serius agar anak tumbuh dengan tidak jadi penggencet bagi anak lain.
Foto: stanfield
Menggencet anak lain sebenarnya merupakan fase dalam kehidupan anak, namun tetap perhatikan serius agar anak tumbuh dengan tidak jadi penggencet bagi anak lain.

REPUBLIKA.CO.ID, Ada garis tegas antara tindakan egois dan dengan hal yang tidak dipikirkan dulu, serta penggencetan sesungguhnya pada anak-anak. Kebanyakan pakar sepakat bahwa anak melewati tahap permulaan jika aksinya memang diniatkan dan mereka menjadikannya sebagai kebiasaan.

Mengapa beberapa anak memilih untuk menyebabkan rasa sakit fisik atau emosional pada orang lain? “Para penggencet cenderung memiliki rasa percaya diri rendah,” kata W Michael Nelson, PhD, penulis Keeping Your Cool: The Anger Management Workbook, yang didesain untuk membantu para konselor yang menangani anak-anak berperilaku agresif. “Mereka kekurangan empati dan perlu mendominasi orang lain,” ujarnya, dikutip dari www.parentsindonesia.com.

Balita masih menguasai kemampuan sosial dasar dan mencari cara untuk mengatur emosi mereka sendiri, jadi perilaku asertif mereka yang berlebihan mungkin hanya merupakan cara menguji batasan atas hal-hal yang bisa diterima. “Menghina dan merebut adalah bagian dari perkembangan setiap anak,” kata Dr. Swearer. Di usia ini, anak-anak bertindak bukan tanpa sengaja dan cenderung menyiksa anak yang berada di dekatnya pada saat itu.

Di bangku TK, anak-anak mulai memahami konsep kekuatan sosial di antara kelompok mereka, tegas Elizabeth K Englander, PhD, direktur The Massachusetts Aggresion Reduction Center di Bridgewater State University. Inilah saat anak-anak agresif mulai secara aktif mencari sasaran anak lain yang menurut mereka rapuh–entah apakah ini karena mereka pemalu, sensitif, bertubuh kecil, atau hanya karena berbeda.

Para guru cenderung menanggapi si penggencet dengan cara berbeda, tergantung pada usianya. Di preschool, mereka berusaha menanamkan perilaku yang lebih lembut dan lebih baik. Tapi di bangku SD, para guru cenderung mengubah penekanannya untuk melindungi korban.

Kendati demikian, ini mengabaikan fakta bahwa belum terlambat untuk meluruskan kembali perilaku si penggencet yang sedang berkembang ini, kata Dr. Sweater. “Beberapa anak membutuhkan perlindungan dengan penyelesaian konflik yang baik di bangku SMP dan SMA.”

Sementara para guru melakukan yang terbaik untuk mengendalikan penggencetan, mereka tidak bisa selalu ada di sana untuk menyaksikan atau mencegahnya. Para karyawan sekolah mungkin tidak sadar bahwa penggencetan sedang terjadi. Para korban cenderung bersikap diam karena mereka takut akan diperlakukan lebih buruk jika mengatakannya kepada orang lain.

Dan dalam beberapa kasus, kepala sekolah tidak tahu cara mengatasi masalah tersebut. Jajak pendapat nasional terbaru di Amerika Serikat, pada University of Michigan CS Mott Children’s Hospital menemukan bahwa hanya 38 persen orang tua yang akan menghargai SD anaknya dengan nilai “A” jika sudah terkait dengan pencegahan penggencetan dan kekerasan: 16 persen dari mereka menilai sekolahnya dengan nilai “C”, 6 persen dengan nilai “D”, dan  5 persen menilai sekolah tersebut gagal.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement