Selasa 10 Mar 2015 16:00 WIB

Keruntuhan Bone dalam Novel Eks Pemred Republika

Rep: Priyantono Oemar/ Red: Djibril Muhammad
Buku Rumpa'na Bone, Runtuhnya Kerajaan Bone
Buku Rumpa'na Bone, Runtuhnya Kerajaan Bone

REPUBLIKA.CO.ID,

Judul     : Rumpa'na Bone, Runtuhnya Kerajaan Bone

Penulis  : Andi Makmur Makka

Halaman: 199

Meski novel Rumpa’na Bone yang akan diluncurkan pada Rabu (11/3) ini menampilkan kisah peperangan hingga tertangkapnya Raja Bone, Andi Makmur Makka masih bisa menampilkan kalimat-kalimat romantis.

"Begitu pula jika saja kabut-kabut malam bisa ia ramu bercampur dengan bunga melati, akan ia tuangkan di kolam pemandian I Bunga Rosi," tulis Makka menggambarkan pemuda Petta Sele’ yang sedang jatuh cinta (halaman 9).

Kalimat romantis lainnya, "… seandainya kindahan malam dan suara margasatwa yang selalu membuat ia kesepian bisa ia kuak dan gulung menjadi sebuah lukisan, maka lukisan itu akan ia persembahkan kepada I Bunga Rosi." (hlm 8).

Sampai suatu malam, ketika kakek Petta Sele’ memacu kuda ke hutan bersama Sang Raja untuk berburu rusa terjadilah pelanggaran moral.

"Ia dan Bunga Rosi memacu sebuah kuda perkasa tanpa sangurdi menuju ke arah bulan. Makin jauh dan makin jauh menembus awan, menanjak, kemudian mereka berdua tertelan bulan purnama."

Tapi kisah di bagian ini muncul begitu saja, tak berujung kisahnya, tak menjadi penyebab munculnya kisah-kisah lain. Istilah-istilah lokal bertebaran dari halaman pertama hingga terakhir, sehingga membantu membaca mengenal kearifan lokal Bugis.

Di novel karya mantan pemimpin redaksi Republika ini, Petta Sele’ hadir sebagai pemuda yang sempat jatuh cinta sebelum menjadi pemimpin pasukan Kerajaan Bone melawan tentara Belanda. Ia terpilih sebagai pemuda yang ikut mengawal Raja ketika Sang Raja dibuang Belanda ke Jawa.

Tahun 1905, Kerajaan Bone ditaklukkan Belanda. Sebelum menaklukkan Bone, terlebih dulu Pemerintah Hindia Belanda membentuk gemeente Makassar pada 1904. Hal itu dilakukan untuk mendukung Makassar sebagai pelabuhan transit.

Pada 1905, wilayah Makassar diperluas hingga ke Mariso yang berbatasan dengan Kerajaan Gowa di selatan, ke utara diperluas hingga berbatasan dengan Kerajaan Tallo.

Makassar dikuasai VOC sejak 1667. Mengalami pertentangan sejak 1615, konflik memuncak selama setahun sejak Desember 1666. Pada November 1667, lahirlah Perjanjian Bongaya yang menguntungkan VOC, karena Kerajaan Makassar harus membayar ganti rugi perang.

Bone kemudian menjadi kerajaan yang disegani di Sulawesi. Arung Palakka yang memimpin Bone 1672-1696 menjadikan Bone disegani.

Raja-raja lain yang hendak bertemu pejabat Hindia Belanda di Makassar, terlebih dulu melapor ke Raja Bone. Pada 1859, pertama kalinya Belanda mengirimkan ekspedisi militer ke Bone. Pada 1905, Belanda kembali mengirimkan tentara ke Bone, hingga akhirnya Raja Bone ditangkap.

Melalui Rumpa’na Bone (Runtuhnya Kerajaan Bone), Makka menggambarkan drama menegangkan marwah Bugis dalam kisah fiksi berlatar belakang sejarah. Kakek Makka adalah pejuang yang mendampingi Raja Bone berjuang. "Ini debut saya kembali ke dunia sastra setelah berkelana ke PNS dan jurnalistik," ujar Makka kepada Republika.

Memulai novelnya dengan deskripsi lingkungan Istana Bone, Makka hadir sebagai pencerita khas narator panggung cerita anak. "Hari demi hari terlewatkan, tahun demi tahun berlalu…" ia pakai untuk menggambarkan peralihan zaman.

Kabar keinginan Belanda menaklukkan Bone disampaikan Makka melalui percakapan tokoh cerita Petta Sele’ yang bertemu sahabatnya, Letnan Van der Briek, komandan pasukan inlander dan marsose, di Makassar. Petta Sele’ hadir di Makassar dalam acara perayaan Jubilium Ratu Belanda.

"Kabar buruk apa Letnan?" tanya Petta Sele’ ketika pertanyaannya tentang Tuan Gubernur dijawab Briek dengan ucapan "Ah, kabar buruk."

Briek kemudian menjelaskan jika Belanda menginginkan seluruh kerajaan di Sulawesi memperbesar dukungan perdagangan kompeni.

Dalam peperangan, Briek sempat menyelamatkan nyawa Petta Sele’ dari peluru anak buah Briek. Tetapi, Petta Sele’ harus menghadapi kenyataan menemukan sahabatnya itu mati di tangan anak buahnya.

"Menyongsong maut dalam perang mempertahankan harga diri seperti ini sungguh sangat terhormat. Kematian pun akan terasa nikmat."

Kalimat terakhir adiknya sebelum mengembuskan napas di medan perang terngiang kembali di telinga Petta Sele’.

Bone di masa Petta Sele’ hidup memang tidak sekuat Bone ketika dipimpin Raja Arung Pallaka. Tapi, kekalahan dari Belanda, tak serta-merta membuat rakyat Bone takluk begitu saja. Masih ada lima tahun masa perlawanan yang membuat tidak nyaman menduduki Bone. Lima tahun setelah kekalahan Bone itu tetap membuat Belanda tak tenteram di Bone, lantaran perlawanan terus terjadi.

Grafik perdagangan dari Makassar mencapai puncaknya pada 1905. Akibat perang, komoditas yang bisa diangkut ke luar Makassar terus menurun. Ini berbeda kondisinya dengan ekspedisi perdana ke Bone pada 1858. Kapal-kapal yang dipakai mengangkut personel tentara dari Jawa ke Makassar, balik lagi ke Jawa dengan komoditas dari Sulawesi.

Dari Gowa dan Sidenreng dibawa komoditas kopi yang bisa dibeli dengan harga rendah. Pada 1859, kendati hanya ada 23 kapal Belanda yang akan meninggalkan Pelabuhan Makassar, tapi komoditas yang dibawa mencapai 24.500 ton senilai 1,7 juta gulden. Tahun sebelumnya, 59 kapal Belanda hanya bisa mengangkut 9.800 ton komoditas senilai 1,18 juta gulden untuk dibawa ke Jawa.

Penaklukan Bone pada 1859 itu membuat pedagang Bugis pindah dari Bone ke Pare-Pare, dekat pelabuhan. Kehadiran pedagang ini di pelabuhan itu meningkatkan interaksi dengan bandar-bandar di pesisir Kalimantan, sehingga transksi perdagangan di Pelabuhan Makassar meningkat.

Grafik perdagangan Pelabuhan Makssar pernah juga turun ketika terjadi pemberontakan Bone. Gerakan Maridia Kape Kape di Mandar juga sempat menurunkan grafik perdagangan pada 1870-1875.

"Jangan ada yang menangis, tegakkan kepalamu, jangan ada yang bersedih. Ini takdir yang harus dipikul. Bertahanlah dan kembali ke keluarga masing-masing. Lanjutkan kejayaan Kerajaan Bone," Raja Bone mengucapkan titah terakhir kepada rakyatnya, setelah ia ditangkap Belanda.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement