REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG -- Legenda atau cerita ajang mencari jodoh pada momen perayaan Cap Gomeh di Pulau Kemaro Kota Palembang Sumatera Selatan, hingga sekarang masih dipercayai oleh sebagian warga keturunan Tionghoa.
Setiap tahun perayaan Cap Gomeh yang dipusatkan di pulau berlokasi di tengah Sungai Musi itu, warga Tionghoa dari penjuru tanah air berduyun-duyun datang kesana, khususnya kaum muda-mudi, karena berharap akan mendapat keberuntungan bertemu jodoh, kata Ketua Panitia Penyelenggara Cap Gomeh Candra Husin di Palembang, Selasa (3/3).
Menurut dia, tradisi mencari jodoh di balik perayaan Cap Gomeh telah berlangsung sejak 300 tahun silam, warga Tionghoa khususnya kaum muda-mudi meyakini dengan perayaan keagamaan di Klenteng Hok Ceng Bio digelar di Pulau Kemaro akan dipertemukan jodoh.
Biasanya pemerintah setempat setiap perayaan Cap Gomeh menyediakan alat transportasi air bagi para pengunjung secara gratis. Dijelaskannya, tradisi perayaan Cap Gomeh di daratan Cina sendiri dianggap hari muda-mudi mencari jodoh, zaman dulu anak perempuan tidak boleh ke luar rumah, hanya saat perayaan Cap Gomeh baru diizinkan boleh bertemu dengan anak laki-laki untuk saling mengenal.
"Dengan ada kisah atau cerita untuk peruntukan jodoh maka setiap perayaan Cap Gomeh datang ke sini memohon supaya dipertemukan jodoh," kata Susanto, salah satu pengunjung dari Jambi.
Menurut Diah, pengunjung yang datang dari Palembang, di Pulau Kemaro tersebut berdasarkan cerita ada sebuah pohon yang diberi nama pohon cinta. Konon, siapapun yang menulis nama pria idaman maka hubungan mereka akan menjadi langgeng dan bagi yang berlum memiliki jodoh, menjadi berjodoh.
Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, asal usul Pulau Kemaro berdasarkan legenda mengisahkan sosok Tan Bu An yang terjun ke Sungai Musi mencari guci yang dikira sawi asin berisikan emas pemberian orang tuanya, setelah mempersunting putri Palembang bernama Siti Fatimah. Setelah melihat kekasihnya tak kunjung muncul ke permukaan sungai, sang putri pun ikut terjun ke Sungai Musi dan hingga sekarang kedua sejoli itu tak pernah terlihat lagi.
Dari tempat dua sejoli ini terjun, lambat laun muncul pulau kecil yang tak tenggelam saat Sungai Musi airnya pasang sekalipun, sampai sekarang dikenal dengan nama Pulau Kemaro. Menurut Candra, tradisi serta legenda inilah menjadikan daya tarik tersendiri bagi masyarakat Tionghoa di Kota Palembang maupun dari penjuru tanah air bahkan luar negeri seperti dari Singapura, Malaysia dan Hongkong untuk merayakan Cap Gomeh di Pulau Kemaro.
Setiap tahun perayaan Cap Gomeh tidak kurang dari 70 ribu pengunjung yang sebagian besar warga keturunan Tionghoa untuk merayakannya.
Terlebih lagi di Pulau Kemaro selain kelenteng, juga terdapat pagoda setinggi 45 meter menjadi destinasi wisata yang dicanangkan pemerintah sebagai ajang promosi Kota Palembang.