REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Perwakilan dari Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) DKI Jakarta, Dewi Prawitasari, menilai banyaknya peredaran garam yang kurang memenuhi standar di pasaran tidak semata-mata kesalahan produsen. Menurutnya, kerusakan kadar iodium pada garam juga dapat terjadi setelah produk masuk ke pasar.
“Kadang mungkin industrinya telah memenuhi syarat tetapi kemudian di retail dan pasar tidak disimpan sesuai dengan ketentuan,” ungkap Dewi dalam Diskusi Hasil Survei dan Uji Garam Beriodioum oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Jakarta, Selesa (10/2).
Menurut Dewi, pedagang yang sering menempatkan produk garam kemasan di tempat yang terkena sinar matahari langsung atau bersuhu tinggi dapat menjadi salah satu penyebab kualitas garam berkurang. Sebab, kadar iodium pada garam dapat berkurang dan kadar airnya bertambah jika terkena paparan sinar matahari terus-menerus. Kadar iodium yang baik pada garam yaitu di atas 30 part per milion (ppm) dan kadar airnya 5 persen.
Selain itu, Dewi juga menuturkan bahwa kebiasaan para ibu rumah tangga yang sering menyimpan garam berdekatan dengan kompor juga menyebabkan kadar iodiumnya berkurang. Hal tersebut dikarenakan suhu panas yang dikeluarkan oleh kompor
“Jadi dilihatnya dari segala aspek, tidak hanya produsen tetapi juga pelaku usaha dan juga masyarakat,” ujar Dewi.
Dewi juga menambahkan bahwa pengawasan terhadap peredaran produk garam beriodium ini harus dilakukan dari hulu ke hilir, baik pemerintah dan masyarakat. Para pelaku usaha juga perlu mengawasi, dari mulai faktor produksi, sebelum diedarkan, sampai pada proses distribusi.
Sebelumnya, dalam diskusi mengenai hasil survei dan uji garam beriodium oleh YLKI disebutkan bahwa 58,8 produk garam yang diuji tidak memenuhi syarat diatas 30 ppm. Uji garam tersebut dilakukan dengan mengambil sample sebanyak 294 produk garam yang beredar di wilayah Jakarta Utara.
Berdasarkan hasil uji YLKI juga ditemukan bahwa banyak produk garam yang tidak memiliki izin edar berupa nomer Pendaftaran BPOM. Selain itu, banyak pula produsen menggunakan penanda SNI dan Halal yang tidak benar.