REPUBLIKA.CO.ID, Layaknya tipikal perempuan berkeluarga yang tinggal di kota besar, Laura, 28 tahun, harus berjibaku demi memadukan perannya sebagai perempuan bekerja sekaligus istri dan ibu di rumah. Kurangnya waktu untuk menstimulasi perkembangan anaknya membuat perempuan yang bekerja di bidang riset pemasaran ini memutuskan untuk memasukkan Kiki, putranya yang baru berusia 2 tahun, ke TK.
“Saya tidak punya cukup waktu untuk mendidik anak saya sendirian. Lagipula, saya pikir tidak ada salahnya. Kan lebih baik dia belajar daripada hanya bergaul dengan babysitter,” katanya, dikutip dari www.parentsindonesia.com.
Tentunya tidak sedikit ibu seperti Laura yang menyerahkan pendidikan usia dini sang anak kepada institusi yang dikenal sebagai Taman Kanak-Kanak (TK). Memasukkan anak ke TK mungkin bisa dilihat sebagai salah satu pilihan yang mudah.
Di TK, anak sudah mendapatkan paket pembelajaran yang lengkap untuk membangun kecakapan sosial serta perkembangan kognitif. Apalagi banyak SD sekarang yang mengharapkan agar calon anak didiknya sudah punya kemampuan membaca dan menulis.
Tetapi, benarkah anak-anak di TK memerlukan pelajaran yang bersifat akademis?
Menurut Dr. Reni-Akbar Hawadi, M.Psi, TK seharusnya lebih menekankan aspek bermain, bukan pada pelajaran yang bersifat skolastik seperti membaca, menulis dan berhitung. “Anak batita dan balita belum siap untuk menerima pelajaran-pelajaran seperti itu. Justru di usia ini kemampuan motorik yang harus dikembangkan, baik kasar maupun halus. Selain itu, perkembangan emosi dan sosialnya juga harus dibangun. Ini semua bisa diperoleh dengan cara bermain. Kalau mengajarkan cara membaca, menulis, atau berhitung, itu justru tugas guru kelas 1 SD, bukan guru TK,” begitu penjelasan Kepala Pusat Keberbakatan Fakultas Psikologi UI ini.