REPUBLIKA.CO.ID, AUSTRALIA -- Internet menjadi fasilitas bagi para penderita pedofilia untuk melampiaskan hasrat mereka kepada anak-anak di Indonesia melalui webcam. Hal ini dapat terjadi karena masalah kemiskinan yang melanda Indonesia.
Indonesia menjadi objek wisata nomor satu bagi para pedofilia Australia -yang akrab disebut Malcolm-. Biasanya anak-anak yang menjadi korban, hanya dibayar sekitar 30 dolar Australia atau sekitar Rp 318 ribu sekali tayang. "Mungkin Malcolm hanya berbaik hati untuk penduduk miskin dimana 43 persen populasinya hanya mendapat nafkah Rp 21 ribu perhari," tutur Kepala polisi federal Australia, Chris Sheehan seperti dikutip Smh.com.au, Ahad (12/10).
Chris mengungkapkan, bahkan predator tertentu kerap datang ke Indonesia untuk mecari anak-anak di bawah 18 tahun. Tentu saja, sasarannya berasal dari keluarganya mengalami kesulitan ekonomi sehingga rentan terhadap iming-iming uang tunai.
Seperti yang dilakukan Peter Dundas Wallbran yang mendekati keluarga korbannya yang berusia delapan tahun. Sebelumnya, Peter bertemu dengan korbannya saat menjual pernak-pernik di pantai Lombok.
Selama tujuh tahun penuh, Peter menjadi ayah angkat bagi korbannya, membayar biaya pendidikan hingga berhasil memikat keluarga korban. Namun, lanjut Chris, secara diam-diam Peter memperkosa anak tersebut.
Terkait hal tersebut, Natalia Perry seorang aktivis perlindungan anak menjelaskan jika terdapat dua jenis pelancong penderita pedopilia di Indonesia.
Natalia menjelaskan, jenis pertama disebut 'Prolific'. Mereka mengadakan forum dimana para penderitanya saling terbuka tetang indentitas mereka dan rencana mereka dalam melancarkan aksinya. Sedangkan yang kedua disebut 'situasional'. Jenis ini, ungkap Natalia merayu dan membujuk korban untuk jatuh dalam pesona mereka.
"Kedua tipe ini berasal dari Australia dan beberapa negara lainnya menuju Bali. Sayangnya kepolisian Indonesia belum menganggap masalah ini serius," ungkap Natalia.