REPUBLIKA.CO.ID, Pernahkah anak Anda tiba-tiba melontarkan pertanyaan, “Mengapa dia pergi ke gereja, bukan ke masjid?”
Ketika si kecil mulai menunjukkan rasa penasarannya terhadap perbedaan agama, ayah dan ibu harus siap memberi penjelasan. Ajarkan anak cara menghargai perbedaan.
Sikap toleran merupakan salah satu kunci sukses bagi anak untuk dapat menjalin hubungan dengan orang lain. Toleransi merupakan awal dari sikap menerima kenyataan perbedaan bukanlah hal yang salah. Justru, perbedaan tersebut harus dihargai dan dimengerti sebagai bentuk keberagaman.
Sikap penuh toleransi merupakan hal yang esensial dalam berbagai sendi kehidupan. Psikolog Elly Risman mengatakan, tiap orang tua perlu mengajarkan anak agar mampu berpikiran terbuka dan berempati terhadap setiap perbedaan, baik dalam hal suku bangsa, agama, maupun ras.
"Sikap toleran akan membuat anak mampu menghargai perbedaan kualitas dalam diri orang lain serta bisa membuka diri terhadap pandangan dan keyakinan baru, juga menghargai orang lain tanpa membedakan suku, gender, penampilan, budaya, kepercayaan, dan kemampuan," ujar perempuan kelahiran Aceh, 21 April 1951, ini.
Sikap positif tersebut akan membuat seorang anak memperlakukan orang lain dengan baik dan penuh pengertian, menentang permusuhan, kekejaman, dan juga kefanatikan. Toleransi membantu anak memahami bahwa orang lain berhak diperlakukan dengan penuh rasa cinta, keadilan, dan penghargaan sekalipun mereka tidak sependapat dengan keyakinan atau perilaku si anak.
Elly mengatakan, anak yang toleran cenderung menunjukkan pengertian pada orang lain. Anak yang demikian ketika berteman tidak menghiraukan usia, budaya, agama, atau jenis kelamin. Mereka akan menunjukkan penghargaan pada orang dewasa dan figur yang memiliki wewenang atau kuasa, terbuka untuk mengenal orang dari berbagai latar belakang dan keyakinan berbeda, dan berani menyuarakan perasaan tidak senang dan kepedulian terhadap seseorang yang dihina.
Anak-anak yang bersikap toleran akan mengulurkan tangan pada anak lain yang lemah, tak memperbolehkan kecurangan dan ketidaktoleranan terjadi, serta menahan diri untuk berkomentar atau meledek yang akan melukai hati kelompok atau anak lain. Anak-anak semacam itu juga bangga atas budaya dan leluhur mereka serta ramah dan terbuka pada orang lain.
"Mereka akan fokus pada karakter positif dan menahan diri untuk tidak mengotak-kotakkan orang lain meski ada perbedaan di antara mereka," kata dia.