REPUBLIKA.CO.ID, RAJA AMPAT -- Jangan heran jika mereka yang berkunjung ke Raja Ampat, Papua Barat tidak membawa oleh-oleh. Apa pasal, oleg-oleh khas Raja Ampat hanya bisa didapat di Bandara Domnie Eduard Osok (DEO). Itu pun terbatas pada makanan, bukan kerajinan tangan.
Kurangnya fasilitas pemasaran, membuat terminal kedatangan wisatawan di Bandara menjadi satu-satunya cara agar karya masyarakat pesisir terbeli. Warga kampung Yenbuba, Timo mengatakan masyarakat tidak punya dana untuk modal menjual karya di kota.
Biaya operasional untuk sewa kapal dan membeli bahan bakar mahal. Satu liter bensin harganya sekitar Rp 15 ribu hingga Rp 20 ribu. Jika hendak ke ibukota, Waisai, misalnya dibutuhkan sekitar 70 liter bensin. Aksesibilitas ke kampung pengrajin pun sulit karena hanya dapat ditempuh dengan menggunakan jalur laut. "Itu belum biaya lain-lain, sewa kapal, parkir, belum lagi makan kami disana," kata Timo kepada Republika akhir pekan ini.
Hasil kerajinan tangan andalan berupa topi anyaman yang terbuat dari serat kayu. Topi ini antara lain bisa didapat di kampung-kampung yang tersebar di Kepulauan Wayag. Topi ini biasanya dibuat serupa manta, ikan primadona kawasan ini. Satu topi harganya sekitar Rp 250 ribu per buah. Wisatawan banyak pula yang mencari koteka yaitu pakaian suku asli Pulau Papua.
Selain kemudahan akses, masyarakat pesisir berharap pemerintah daerah bisa memberikan pelatihan dan pendampingan. Menurut Timo, salah satu pelatihan yang dirasa penting yaitu bahasa inggris. Dengan kemampuan ini, diharapkan masyarakat lokal bisa lebih lancar ketika berinteraksi dengan para turis mancanegara. Masyarakat setidaknya bisa menggali rejeki dengan menjadi pemandu wisata lokal. Sebagian besar masyarakat pesisir di Raja Ampat berprofesi sebagai nelayan.
Luas Kawasan Konservasi Laut Daerah di Provinsi Papua Barat mencapai 1,1 juta hekatera (ha). Wilayah ini dikelola oleh Kawasan Konservasi Laut Daerah Papua (KKLD) Papua Barat, dibawah Dinas Perikanan dengan tanggung jawab langsung kepada Bupati. Selama ini multi stakeholder dibebaskan menggunakan berbagai cara untuk mengelola wilayah ini.
"Papua Barat dikelola oleh banyak pihak, ada para stakeholder, ada pula institusi pemerintah. Apapun mekanisme manajemen boleh diterapkan, selama outputnya bagus," ujar Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua Barat (BBKSDA) Agung Setiabudi.
Dalam pelaksanaannya, KKLD mengalami sejumlah tantangan. Masyarakat harus terus diyakinkan bahwa mengelola Papua Barat dengan cara-cara konservasi masih menguntungkan. Untuk itu peran nyata Bupati diperlukan agar masyarakat paham. Selama ini KKLD bermitra dengan lembaga konservasi baik nasional maupun internasional. Tanpa kerjasama dan komitmen kuat dari semua pihak, kelestarian Raja Ampat bisa terancam karena faktor ekonomi.
Tantangan lain yaitu adanya kepentingan Pemerintah Daerah untuk mencegah alih fungsi kawasan konservasi menjadi bentuk lain. Ancaman penambangan ilegal, pembalakan liar, pembangunan pemukiman dan perburuan satwa liar juga masih menghantui daerah ini.