REPUBLIKA.CO.ID, Saat awal menyantap kaledo, saya masih terasa canggung untuk memegang tulang yang memiliki diameter seukuran panjang jari jempol orang dewasa ini. ''Kalau makan kaledo itu enaknya pakai tangan saja,'' celetuk Jintan.
Nah seperti yang diceritakan Jintan tentang makna kata kaledo, rupanya daging yang menempel di tulang ini memang tidak alot. Dalam kondisi yang masih hangat-hangat kuku, daging pada tulang ini terasa cukup lembut. Sambil memutar-mutar bagian tulang, mulut saya terus mencari hingga daging yang menempel di tulang itu tak lagi tersisa.
Selain menikmati dagingnya yang lembut, kaledo juga bisa diseruput. Bagian yang diseruput adalah sumsum tulang. Tak heran jika pelayan rumah makan kaledo ini biasanya menghidangkan pula sedotan serta satu paket sendok-garpu.
Untuk menyeruput sumsum, Jintan memberitahu caranya. ''Air sop kaledo ini dimasukkan dulu ke bagian dalam tulang. Setelah itu sedot sumsumnya,'' katanya sambil melepaskan tawa.
Saya langsung mengikuti tips memakan kaledo dari Jintan tadi. Dalam kondisi sop yang masih hangat itulah, mulut saya kemudian menyeruput sumsum tulang dengan bantuan sedotan. Slurppp....kehangatan dan kelembutan kaledo langsung masuk ke dalam mulut.
''Wah bikin badan segar dan jadi berkeringat,'' kata Yasin Habibi, fotografer Republika, yang mengaku berada dalam kondisi kurang bugar saat berkunjung ke Palu. ''Kemarin sebelum berangkat, badan saya sempat panas. Sehabis makan kaledo, keringat jadi keluar semua,'' katanya sambil menyeka keringat yang masih membahasi wajahnya.
Dalam menyantap kaledo ini, tandem yang paling sering dihidangkan adalah singkong. Singkong yang sudah direbus itu disatukan dengan sop kaledo yang hangat. ''Bisa juga pakai nasi. Tapi orang Palu lebih senang dengan singkong,'' kata Jintan.