REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fernan Rahadi
"Selamat datang di Melbourne. Anda baru saja menginjakkan kaki di kota tercantik di dunia!"
Mark Stringer mengucapkan kalimat di atas dengan penuh percaya diri. Namun kata-katanya harus diakui banyak benarnya. Melbourne adalah kota paling berkesan buat saya dalam kunjungan selama sepekan lebih di Australia.
Jika Perth bisa dibilang kota yang terlalu sepi sementara Sydney menjadi tempat yang terlampau ramai, maka Melbourne berada di tengah-tengah keduanya. Seperti kota kampung halaman saya Yogyakarta, Melbourne kaya akan arsitektur budaya yang membuatnya dijuluki cultural and sporting capital of Australia.
Petualangan saya di kota itu dimulai pada Selasa (25/3) sore, saat pesawat Qantas bernomor penerbangan QF722 mendarat dengan mulus di Melbourne Airport. Perbedaan waktu tiga jam antara Perth dengan Melbourne membuat perjalanan udara tersebut terasa lebih panjang dari yang seharusnya.
Di halaman bandara, mobil warna hitam bertuliskan 'Murray' sudah setia menunggu kami. Saya berkenalan dengan Mark, sang sopir, saat saya mengajukan diri untuk menemaninya di bangku depan. Belakangan, saya merasa beruntung dengan kebiasaan saya duduk di kursi depan karena hal itu memberi saya kesempatan mengobrol dengan sopir-sopir yang kami temui di tiap kota di Australia.
"Di kota ini segalanya mudah. Kami punya segalanya mulai dari infrastruktur yang memadai sampai iklim yang menyenangkan. Namun jangan tanya soal biaya hidup di sini. Semuanya mahal," ujar Mark memulai percakapan pagi itu usai kami meninggalkan Hotel Citigate, tempat kami menginap, untuk berkeliling kota terpadat di negara bagian Victoria itu.
Mark benar. Berdasarkan data Economist Intelligence Unit (IEU), pada tahun 2013 Melbourne bersama Oslo, Norwegia, adalah kota keempat termahal di dunia setelah Tokyo, Osaka (Jepang), dan Sydney (Australia). Saat berkeliling mencari makanan di Collins Street, sebuah wilayah di pusat kota Melbourne, saya mendapati sandwich seharga 13 dolar (Rp 130 ribu) sebagai hidangan termurah yang bisa saya temui.
Akan tetapi tidak bisa disangkal lagi pemerintah setempat telah membuat Melbourne menjadi kota yang nyaman ditinggali. Jika anda tak memiliki mobil, maka berbagai jenis moda transportasi umum dengan mudah dijumpai di kota tersebut. Sebut saja Melbourne Rail Network, Melbourne Metro, Trams, dan Bus. Selain itu, Melbourne juga menyediakan berbagai fasilitas yang memadai di bidang pendidikan, pelayanan kesehatan, olahraga, serta pariwisata.
Kelengkapan tersebut membuat untuk tiga tahun berturut-turut Melbourne mendapatkan gelar oleh IEU sebagai kota paling layak untuk ditinggali. Melbourne berada di atas Wina (Austria), Vancouver, dan Toronto (Kanada). Melbourne juga masih jauh di atas tiga kota Australia yang masuk 10 besar: Adelaide, Sydney, dan Perth.
Jika di Perth pukul delapan malam sudah seperti kota mati karena orang-orang sudah berada di dalam rumah masing-masing, maka berbeda dengan Melbourne. Hingga tengah malam, kota itu masih penuh dengan kehidupan. Saya beruntung bisa berkeliling menikmati sejumlah tempat seperti Federation Square, Arts Centre Melbourne, dan National Gallery of Victoria yang memiliki nilai historis yang cukup tinggi.
Di malam hari, Crown Casino and Entertainment Complex dipenuhi banyak manusia yang menghabiskan uangnya di meja judi. Sementara di sepanjang pinggiran Yarra River, pasangan tua-muda asyik bercumbu tanpa mempedulikan orang-orang yang lalu-lalang di sekitar mereka. Langit pekat malam itu berhiaskan kelap-kelip cahaya lampu yang berasal dari gedung-gedung yang menjulang tinggi.
Setelah mengantarkan kami ke sejumlah tempat tujuan Rabu (26/3) siang itu, Mark bertanya tujuan kami setelah meninggalkan Melbourne. Setelah saya menyebutkan kota Sydney, dahi Mark langsung mengernyit. Ia kemudian memberi tahu tiga hal bagus yang bisa saya temui di Sydney.
"Yang pertama Sydney Opera House, yang kedua Sydney Harbour Bridge, dan yang ketiga adalah jalan menuju Melbourne," ujarnya sambil tersenyum.